Apalagi secara faktual telah terjadi perubahan pola pendorong transformasi desa sejak 1984, dari masyarakat kepada pemerintah. Indikasinya, bantuan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam anggaran desa mengisi 76 persen (total
Rp 13,5 triliun) pada tahun 2011. Adapun pendapatan dari dalam desa hanya mencapai 18 persen (total Rp 3 triliun).
Sayang, selama ini pemerintah kesulitan memandang totalitas desa di Tanah Air. Miopia tersebut mencakup ketidaktahuan secara pasti tentang jumlah dan tingkat perkembangan desa hingga kesulitan menemukan kaidah beserta jalur pembangunan desa yang khas.
Kurangnya kesadaran tentang lanskap totalitas desa menghasilkan perencanaan pembangunan yang minimal. Selama periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014, misalnya, 24 kementerian dan lembaga berencana memasuki hanya sekitar 12.500 desa.
Ironisnya, 54 persen desa (42.000) dimasuki Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Selain bersifat ad hoc bagi swasta (dibandingkan dengan kerja rutin birokrasi pemerintah), program yang disokong donor luar negeri ini lebih mengedepankan kerja konsultan daripada pembangunan desa sendiri.
Dari dokumen utang Indonesia kepada donor untuk PNPM Mandiri Perdesaan periode 2012-2015, tertulis 69 persen utang (450 juta dollar AS) ditujukan bagi konsultan pendamping dan tenaga ahli.
Program pemberdayaan yang bertujuan meningkatkan kapasitas warga desa dalam persaingan pasar ini pun mengerucut kepada desa-desa maju yang lebih mampu bersaing. Desa swasembada sebagai peringkat desa termaju hanya berjumlah 3 persen dari semua desa. Namun, 65 persen lokasi PNPM diletakkan pada kelas desa ini.
Berlawanan dari hal tersebut, desa swadaya masih mencapai 46 persen. Sayang kelas yang setara dengan desa tertinggal ini hanya dikunjungi 1-7 persen program pembangunan.
Kaidah pembangunan desa
Jumlah desa terus meningkat dari 69.000 tahun 2003, 70.000 tahun 2005, 75.000 tahun 2008, 80.000 tahun 2011, hingga diperkirakan 86.000 tahun depan. Namun, perencanaan yang minim dan kebijakan berbasis persaingan antardesa di atas telah menyempitkan akses terhadap pembangunan.
Pada masa depan, kesalahan kebijakan itu perlu diperbaiki sesuai dengan kaidah pembangunan yang khas tersusun dari kondisi desa nusantara sendiri. Pertama, konstitusi dan beragam peraturan perundang-undangan turunannya senantiasa mencantumkan visi kesejahteraan warga negara sebagai tujuan akhir pembangunan. Berdasarkan visi itu, dapat diambil kebijakan afirmatif yang disusun khusus bagi desa swadaya atau tertinggal, baru selanjutnya diarahkan kepada desa swakarya atau desa transisi.
Kedua, peningkatan pembangunan berlangsung serupa pada beragam tipologi desa. Landasan evolusi desa dalam kebijakan selama ini—yaitu dari desa hutan menuju desa sawah lalu menjadi desa industri dan jasa—ternyata tidak memiliki bukti-bukti riil di sini.
Sebaliknya, desa-desa persawahan, perkebunan, pesisir, pertambangan, perindustrian, dan jasa ada yang berposisi tertinggal sampai yang maju. Konsekuensinya strategi pembangunan desa dilarang seragam. Keragaman kebijakan desa seharusnya disesuaikan dengan tipe geografi dan tipe mata pencarian tersebut.
Ketiga, pola pelaksanaan pembangunan desa mencipta kurva kecepatan S. Desa tertinggal ataupun desa maju secara relatif sama-sama lambat berproses untuk membangun. Sebaliknya, desa swakarya atau transisi justru sangat responsif terhadap umpan-umpan pembangunan.
Perbedaan pola kecepatan tersebut menimbulkan kebutuhan diperbesarnya alokasi pembangunan bagi desa tertinggal. Adapun pada desa-desa transisi perlu disusun kelembagaan pengawal perubahan sosial yang sangat cepat.
Keempat, substansi pembangunan sendiri perlu disesuaikan dengan peringkat desa. Statistika desa menunjukkan memang terdapat substansi inti yang harus selalu tersedia, yaitu program kesehatan, layanan transportasi, peningkatan kapasitas pemerintah desa, dan pemberdayaan masyarakat.
Program air minum
Secara khusus pada desa tertinggal perlu ditambah program air minum dan kelembagaan keagamaan. Pada desa transisi tambahan program yang dibutuhkan lebih banyak lagi, meliputi listrik, pos dan telematika, energi, pengembangan industri, kredit, perdagangan, lembaga kemasyarakatan, dan permukiman. Desa-desa maju hanya perlu tambahan program industri, energi, pendidikan, dan perdagangan.
Desa-desa transmigrasi selama ini mengikuti pola serupa. Tambahan kekhasan di wilayah transmigrasi ialah dualisme masyarakat lokal dan pendatang.
Untuk mengintegrasikan keduanya, lazim dikembangkan transmigrasi swakarsa yang dikembangkan masyarakat sendiri. Di samping lebih mahir mempertimbangkan potensi sumber daya lokal, transmigran swakarsa lazimnya juga piawai menjalin hubungan dan menghindari konflik dengan warga lokal.
Ivanovich Agusta Sosiolog Pedesaan IPB
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009764467
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar