Maka, pemilu tidak sepatutnya disamakan dengan perang: pihak yang kalah akan menempuh segala cara balas dendam dengan perang berlarut-larut. Lebih bijak apabila setelah pemilu semua pihak, termasuk dari kubu yang kalah, bersatu padu kembali membangun negeri ini.
Arsitektur sistem kenegaraan kita belum menerapkan asas transparansi dan check and balance karena masih mencampuradukkan nilai-nilai sistem presidensial dengan sistem parlementer begitu saja. Kedaulatan rakyat yang dipercayakan kepada seorang presiden dalam praktiknya bisa terganjal, bahkan tereduksi oleh lembaga demokrasi lainnya. Salah satunya adalah hubungan lembaga presiden dengan DPR.
Gabungan partai oposisi
Bagaimana mungkin presiden yang legitimasinya datang langsung dari rakyat melalui pemilu, sebagai mekanisme demokrasi yang begitu panjang dan dengan risiko serta biaya politik yang tinggi, berhadapan dengan partai atau gabungan partai oposisi di DPR layaknya sistem parlementer? Pola demikian ke depan menuntut kemampuan kabinet yang prima dalam memainkan power play tanpa harus bagi-bagi kekuasaan seperti yang dilakukan dalam dua kali pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang ujungnya hanya menyuburkan wabah korupsi dan mafia.
Tantangan lain yang langsung menghadang pemerintahan Joko Widodo adalah di bidang anggaran. Menurunnya pasar produk Indonesia, terkhusus di Eropa Barat dan Tiongkok, belakangan ini membuat beberapa tahun ke depan upaya menaikkan penerimaan negara dari sektor pajak dengan cara-cara lama sulit ditempuh. Oleh karena itu, ke depan dibutuhkan terobosan menghentikan kebocoran dari sektor pajak dan di sisi lain agar potensi pemasukan sektor pajak yang begitu besar bisa efektif terpungut sebagai pendapatan negara.
Bengkaknya subsidi BBM dalam dua periode pemerintahan SBY juga tidak mungkin diteruskan. Pengalihan subsidi dengan menaikkan harga BBM Rp 1.000 per liter saja akan menghemat Rp 46 triliun, jumlah besar yang bisa digunakan untuk program menaikkan pendapatan rakyat banyak sehingga tak peduli harga BBM berapa pun, kelak rakyat mampu membelinya.
Mafia di mana-mana dan di mana-mana mafia adalah realitas yang hidup di tengah-tengah kita. Suburnya praktik mafia tidak bisa lepas dari keterlibatan secara sistemik birokrasi pemerintah, terlebih pada jajaran aparatur keamanan dan penegak hukum. Praktik mafia ini bukan hanya telah menistakan dan menghinakan kemanusiaan, khususnya terhadap rakyat kecil akibat kejahatan modal, bahkan state terrorism yang dibarengi jatuhnya korban dan juga kriminalisasi.
Ia juga telah menghilangkan potensi pemasukan negara akibat manipulasi pajak yang dilakukan dengan cara restitusi pajak fiktif, bisnis ilegal, serta penggangsiran untung melalui pinjaman luar negeri fiktif dan perdagangan internal grup sejumlah perusahaan besar (Tbk), di samping hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
Praktik mafia yang tidak kalah mengerikan juga terjadi pada sektor minyak dan gas, anggaran, perbankan, hukum, bea cukai, BUMN, serta hampir semua sektor kehidupan, termasuk dalam perekrutan pegawai negara. Tantangan nyata tersebut hanya mungkin dijawab dengan melakukan terobosan khusus dalam bentuk reformasi birokrasi dan atau restrukturisasi sejumlah lembaga pemerintahan.
Begitu pula tentang korupsi, ke depan demokrasi kita harus bebas dari praktik monopoli dan oligarki kekuasaan serta politik transaksional sehingga peluang untuk korupsi mengecil. Karena korupsi adalah kreasi manusia, hanya dengan paksaan dari
sistemlah praktik korupsi bisa dieliminasi.
Jokowi adalah simbol perlawanan rakyat. Kelebihan utama Jokowi tersua pada faktor kejiwaan terkait dengan trust. Ia jujur dan sederhana. Lebih dari itu adalah faktor keillahian yang begitu melekat pada rakyat awam, terlebih di pedesaan: "wahyu" atau "pulung". Hanya karena dengan turun tangan Tuhan-lah, seorang mandor mebel bisa cepat meloncat menjadi wali kota, gubernur, kemudian presiden.
Terobosan menentukan
Praktik korupsi dan mafia yang terstruktur, sistematik, dan masif (TSM) selama pemerintahan SBY telah membuat rakyat banyak muak terhadap kelakuan sebagian elite negeri ini, tak terkecuali terhadap sebagian elite partai. Ini membuat dukungan langsung dari rakyat kepada pemerintahan Jokowi jauh lebih berarti daripada dukungan partai dan DPR itu sendiri. Dapat dipastikan, ke depan "oposisi" yang dimainkan Koalisi Merah Putih tanpa didasari aspirasi rakyat yang murni niscaya akan memunculkan perlawanan rakyat tanpa dikomando sekali pun.
Dengan kata lain, sepanjang Jokowi tetap amanah, otomatis kendala struktural berupa kecilnya jumlah anggota DPR dari partai pendukung pemerintah akan teratasi. Bagaimanapun, niat pemimpin partai dan terlebih anggota DPR yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih adalah untuk membangun negeri ini, bukan untuk menerapkan politik balas dendam.
Kalau saja kabinet diisi oleh figur yang nyata-nyata aset bagi negeri ini, niscaya semua potensi lawan politik akan pupus sejak hari pertama kepemimpinan Jokowi pada 20 Oktober 2014. Sebaliknya, apabila susunan kabinet diisi oleh orang-orang yang justru jadi liability atau beban bagi negeri ini dan juga bagi Jokowi sendiri (apalagi orang- orang yang terkoneksi, terafiliasi, atau bagian dari mafia, koruptor, dan atau orang bermasalah yang selama ini bak kanker penggerogot jasad dan jiwa bangsa ini), dalam waktu dekat setelah pelantikan kabinet akan terjadi penggabungan kekuatan lawan politik Jokowi dan kekuatan rakyat banyak yang kecewa. Bahkan, bisa terjadi perubahan dari semula cinta menjadi benci. Jika ini terjadi, niscaya sulit dipulihkan dengan bagi-bagi kekuasaan dengan partai-partai Koalisi Merah Putih sekalipun.
Berangkat dari ketegaran dan kemandirian dalam membentuk kabinet, ke depan Jokowi mempunyai peluang memperbaiki salah pilih figur dengan mengadakan beberapa kali perombakan kabinet sampai menemukan figur terbaik.
Perang terhadap mafia hanya bisa dijawab dengan reformasi birokrasi dengan prioritas jajaran aparatur keamanan. Dalam hal memerangi korupsi, di samping perbaikan sistem demokrasi untuk menghentikan praktik monopoli dan oligarki kekuasaan serta politik transaksional, tata kelola pemerintahan ke depan harus bisa mempersempit niat dan kesempatan terjadi korupsi.
Untuk itu, perlu melakukan pemisahan jabatan karier dan jabatan politik, meningkatkan kebebasan warga negara untuk mengetahui apa saja yang dikerjakan pemerintah, kecuali untuk bidang pertahanan dan intelijen, serta melakukan penerapan pembuktian terbalik.
Khusus untuk lingkungan pajak dan Bea Cukai serta kejaksaan dan Polri tidak cukup dengan sekadar reformasi, tetapi harus dibarengi dengan restrukturisasi kelembagaan.
Saurip Kadi
Mayor Jenderal TNI (Purn); Mantan Aster KSAD
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008909579
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar