Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 04 November 2014

ANALISIS POLITIK: Defisit Martabat Wakil Rakyat (J Kristiadi)

RAKYAT Indonesia tidak membutuhkan waktu lama untuk mengetahui karakter lembaga wakil rakyat. Perilaku predatorik, naluri memangsa lawan politik dengan berebut pimpinan DPR serta alat kelengkapan DPR, dilakukan tanpa etika dan kesantunan, bahkan nyaris brutal. Hujan interupsi, berebut maju ke meja pimpinan, dan menjungkirbalikkan meja dapat disaksikan oleh jutaan rakyat Indonesia melalui sejumlah media. Baru kali ini DPR hampir mempunyai pimpinan kembar.

Pemandangan tersebut sangat berlawanan dengan upacara pelantikan yang gemerlap, semringah, dan tentu saja balutan pakaian berkelas. Pada peristiwa seremonial tersebut, semua wakil rakyat mencoba membangun imaji kolektif sebagai tokoh publik yang bermartabat dan mulia. Namun, pesona pakaian dan aroma wewangian sebagai lambang harkat dan derajat itu dalam sekejap pudar oleh hasrat kuasa yang menggebu. Perubahan perilaku ini mencerminkan karakter mereka yang seharusnya lebih mengabdi kepada kepentingan umum ternyata lebih mengutamakan kepentingan kekuasaan.

Praktik politik sejenis juga menjalar sampai tingkat daerah, DPRD provinsi ataupun kabupaten/kota. Dengan demikian, benar ungkapan bijak Abraham Lincoln (1809-1865): hampir semua orang dapat bertahan menghadapi kesulitan, tetapi kalau ingin tahu watak seseorang, berilah dia kekuasaan (nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man's character, give him power). Namun, yang sangat menyedihkan, sinyalemen majalah Tempo (3-9 November), perebutan kursi pimpinan DPR beraroma politik transaksional.

Tragedi politik di parlemen bukan datang dengan tiba-tiba. Proses tersebut sudah menggejala sejak pemilihan anggota legislatif bulan Juli lalu. Kerasnya pertarungan berebut kursi di DPR serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota telah menguras deposit rasa saling percaya di internal parpol. Sesama kader parpol di daerah pemilihan yang sama harus tega saling mematikan demi survivalitas politiknya.

Fenomena tersebut dalam bahasa Adam Przeworski (1999) disebut demokrasi minimalis (minimalist conception of democracy). Tegasnya: demokrasi adalah "konflik yang terbatas" atau "konflik tanpa saling bunuh", demokrasi bukanlah konsensus (democracy is "limited conflict" or "conflict without killing", it is not about consensus). Dalil itu, meski tidak seluruhnya benar, validitasnya setidak-tidaknya dalam kasus kompetisi politik di parlemen dewasa ini masih teruji, musyawarah sebagai kearifan dalam praktik pengambilan keputusan politik sudah luntur.

Bahkan, semangat pertarungan habis-habisan sudah diawali sejak penyusunan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Undang-undang tersebut disusun mengabaikan aturan baku yang mengharuskan berpedoman kepada UU No 12/2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Selain itu, tak melibatkan perdebatan publik yang cukup mendalam, terutama isu-isu yang dianggap krusial oleh publik, misalnya tentang mekanisme pemilihan pimpinan DPR dengan sistem paket. Isu tersebut juga tak pernah tercantum dalam daftar inventarisasi masalah, naskah akademik, serta diagendakan dalam berbagai forum, misalnya panja dan pansus. Maka, dalam perspektif formal-prosedural penyusunan undang-undang, seharusnya UU No 17/2014 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Perilaku para wakil rakyat di panggung politik justru menegaskan bahwa pertemuan yang dilakukan tokoh-tokoh sentral Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat hanya basa-basi politik. Tali silaturahim tersebut, meskipun mampu mengerem tingkat eskalasi konflik, tidak mempunyai daya getar di parlemen. Ini mengesankan hanya bagian dari siasat politik yang lebih canggih.

Namun, yang lebih tragis, kompetisi memperebutkan pimpinan DPR dan alat kelengkapannya tanpa konsultasi dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Masyarakat sama sekali tidak memahami, mereka sedang memperebutkan apa dan untuk siapa. Rakyat diperlakukan sebagai penonton setelah mereka memegang kekuasaan atas nama rakyat. Janji kampanye mereka menguap dalam sekejap diterpa panasnya nafsu kuasa. Rakyat juga tidak tahu apa hubungan antara keributan dan perilaku brutal di parlemen dengan upaya memperbaiki kesejahteraan rakyat. Maka, tidak terlalu salah kalau sebagian masyarakat menganggap persepsi pertarungan yang tidak ketahuan juntrungnya itu hanya salah satu agenda mengganjal pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Perdebatan mengenai demokrasi representasi sudah berlangsung sejak zaman demokrasi kuno di Athena. Agar demokrasi perwakilan tak mereduksi kedaulatan rakyat, para wakil rakyat dan rakyat harus mampu membentuk dan mengekspresikan kemauan politik yang sama. Tanpa konkurensi aspirasi antara rakyat dan wakilnya, lembaga perwakilan rakyat akan menjadi oligarki politik yang mengejar kekuasaan dan menindas rakyat (Nadia Urbinati, 2008, Representative Democracy, Principle and Genealogy). Oleh karena itu, demokrasi perwakilan menuntut partisipasi publik serta transparansi, akuntabilitas, dan itikad baik wakil rakyat. Tanpa kontrol publik, lembaga perwakilan rakyat akan semakin kehilangan martabatnya karena tertimbun limbah nafsu serakah sehingga ranah kekuasaan kehilangan amanah, hidayah, berkah, dan marwah.

J Kristiadi Peneliti Senior CSIS

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009877109
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger