Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 08 November 2014

Pendidikan Berbasis Kebudayaan (HARYADI BASKORO)

SAAT diumumkan, disebut tugas Anies Baswedan adalah sebagai Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah. Ini menunjukkan komitmen pemerintahan Jokowi untuk menjadikan kebudayaan sebagai basis pendidikan.
Hal itu sejalan dengan pemikiran Bung Hatta, sebagaimana dikutip Yudi Latif (Kompas, 21/8), bahwa yang diajarkan dalam proses pendidikan adalah kebudayaan; pendidikan itu sendiri adalah proses pembudayaan.

Secara antropologis, Koentjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan adalah sistem gagasan, sistem perilaku, dan budaya materi yang menjadi milik diri melalui proses belajar. Artinya, manusia menjadi makhluk yang berbudaya melalui proses belajar. Tidak ada yang instan sehingga ketika proses belajar kebudayaan (enkulturasi) itu diformulasikan, lahirlah sistem-sistem pendidikan berjenjang yang kompleks.

Anak dan remaja
Kebudayaan, entah yang bernilai positif atau negatif, menjadi milik diri melalui proses belajar. Perilaku (budaya) korupsi tidak muncul begitu saja. Kebiasaan menyontek sejak duduk di bangku sekolah dasar, misalnya, adalah proses belajar awal dari perilaku korup tersebut. Apalagi kebudayaan yang mulia dan luhur, yang kini menjadi sesuatu yang langka, tidak bisa dimiliki tanpa belajar keras dalam waktu lama.

Dalam proses pembudayaan, yang dipelajari oleh manusia pada awal proses sosialisasinya dalam kehidupan bermasyarakat akan begitu tertanam dalam jiwa sehingga sulit diubah. Sebagai contoh adalah budaya makan nasi, kita susah mengubahnya karena itulah yang pertama kita pelajari.

Oleh karena itu, tepat jika pembudayaan harus dimulai pada masa kanak-kanak dan remaja, yaitu masa-masa sekolah di bangku pendidikan dasar dan menengah. Revolusi mental pada dasarnya sulit ketika mentalitas buruk sudah terbentuk sejak kanak-kanak, seperti pada kasus mental korup yang berakar pada mental menyontek sejak anak-anak. Itulah sebabnya mental korup bangsa ini tidak mudah dihapuskan sekalipun dengan ancaman dan hukuman yang mengerikan. Mentalitas sebuah bangsa akan kuat apabila ditanamkan sejak masa kanak-kanak.

Orang Jawa punya ungkapan yang mengatakan bahwa menyembuhkan penyakit batuk (watuk) itu mudah, dua-tiga hari sembuh. Namun, menyembuhkan penyakit karakter (watak) tidak bisa dalam setahun atau dua tahun. Oleh karena itulah, revolusi dalam konteks perubahan rezim yang bobrok sering terpaksa menjadi sebuah upaya perubahan radikal dengan kekerasan. Alasannya sederhana, mengubah mental para pemimpin sangat tidak mudah sehingga pembaruan lebih cepat terjadi apabila dilakukan penggulingan kekuasaan secara paksa.

Masa kanak-kanak dan remaja merupakan masa emas sekaligus periode rentan yang sangat kritis. Salah didikan, fatal akibatnya. Itulah sebabnya gerakan terorisme mengader anak-anak belia karena mudah diindoktrinasi. Radikalisme dan sikap ekstrem, intoleransi, dan perilaku kekerasan mudah diajarkan pada diri anak-anak.

Anies Baswedan dituntut untuk bisa mengemas pendidikan moral, budi pekerti, Pancasila, pendidikan damai (peace education), pendidikan pluralisme-multikulturalisme untuk para pelajar kita. Revolusi pada dasarnya adalah pembaruan yang radikal meski tidak selalu terjadi dalam waktu cepat. Jika pembudayaan Indonesia intensif dilakukan sejak kanak-kanak, niscaya gerakan revolusi mental bangsa akan berbuah lebat pada masa 20 tahun atau 30 tahun yang akan datang.

Budaya kreatif
Kebudayaan itu bersifat kreatif. Kebudayaan adalah hasil karya, rasa, dan cipta manusia yang dinamis. Para pemimpin masa silam harus memiliki kualifikasi narendra sudibyo, yaitu sebagai para penggagas, pencipta, dan pengembang peradaban. Manusia pada hakikatnya adalah makhluk kreator budaya karena menghadapi alam tempat berpijak yang selalu menantangnya untuk bertahan hidup.

Dengan demikian, kebudayaan (mental dan perilaku) kreatif itulah yang harus ditanamkan sejak masa kanak-kanak. Hal itu karena, pada dasarnya, sifat kreatif yang asli juga muncul pada periode perkembangan psikologis anak-anak, seperti yang terjadi pada anak-anak yang kesukaannya adalah bertanya (periode bertanya). Pendidikan tradisional yang hanya bersifat mencekoki anak dengan seabrek pengetahuan terbukti justru menumpulkan mental bertanya dan jiwa kritis anak-anak kita.

Pendidikan berbasis budaya untuk pelajar sekolah dasar dan menengah haruslah pendidikan transformatif yang mencerdaskan. Menurut Darmaningtyas, sebagaimana dikutip Ma'arif (2005), pendidikan transformatif adalah model pendidikan yang bersifat kooperatif terhadap segenap kemampuan anak untuk mengembangkan proses berpikir yang lebih bebas dan kreatif.

Dalam hal ini, potensi-potensi individual tidak dimatikan dengan bentuk pendidikan yang bersifat penyeragaman dan pemberian sanksi-sanksi. Anak didik dibiarkan berkembang secara wajar dan manusiawi. Pendidikan harus bebas dari penindasan, ketimpangan, dominasi, dan eksploitasi. Pendidikan harus menekankan kesetaraan, saling memahami, memiliki kepekaan, dan kebebasan. Tujuan akhirnya adalah supaya anak didik mempunyai pengetahuan yang kritis (critical knowledge).

Tantangannya, kecerdasan (sifat kritis dan kreatif) anak-anak kita harus dipadukan dengan mentalitas idealis. Itu karena, meski metode-metode pembelajaran masa kini bersifat mencerdaskan, tetapi cenderung pragmatis. Metode quantum teaching yang terkenal itu, misalnya, substansinya pragmatis. Kita membutuhkan kebangkitan generasi yang idealis. Namun, idealisme itu sendiri harus diajarkan secara atraktif dan menyenangkan bagi anak-anak kita tanpa merenggut kebahagiaan mereka.

Haryadi Baskoro
Peneliti Kebudayaan; Pemimpin 3H Advocates & Consultants Yogyakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009807886
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger