Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 11 Desember 2014

TAJUK RENCANA: Pemerintah Jangan Terpancing (Kompas)

DUALISME kepengurusan Partai Golkar antara Aburizal Bakrie dan Agung Laksono bisa menjebak pemerintah untuk terlibat dalam konflik internal.
Adalah sebuah kenyataan Partai Golkar kini terbelah. Musyawarah Nasional Bali memilih secara aklamasi Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum Golkar 2014-2019. Munas Bali memutuskan Golkar tetap bertahan di Koalisi Merah Putih dan menolak sistem pemilihan kepala daerah langsung dengan cara menolak Perppu Pilkada.

Keterpilihan Aburizal secara aklamasi merupakan yang pertama kali dalam sejarah Golkar sejak Reformasi. Iming-iming ketua DPD akan menjadi gubernur atau wali kota dalam sebuah pilkada oleh DPRD tampaknya menjadi salah satu faktor Aburizal terpilih kembali.

Terpilihnya Aburizal ternyata memicu perlawanan dari kalangan internal Golkar. Munas Ancol memilih Agung Laksono sebagai Ketua Umum Golkar. Agung terpilih secara demokratis mengalahkan Priyo Budi Santoso dan Agus Gumiwang Kartasasmita. Munas Golkar di Ancol menyuarakan mendukung pilkada langsung, menyerukan pembubaran Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat, serta mendukung pemerintah.

Kedua pengurus, baik kubu Aburizal maupun kubu Agung, mendaftarkan kepengurusan mereka ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Kementerian Hukum dan HAM membentuk tim untuk meneliti masalah tersebut. Pendaftaran kepengurusan baru partai politik adalah sesuai dengan perintah Undang-Undang tentang Partai Politik.

Masalah inilah yang dihadapi pemerintahan Presiden Joko Widodo. Mengesahkan salah satu kubu pasti akan dianggap berpihak dan mengintervensi Golkar. Tidak mengesahkan kepengurusan pun bisa dianggap melanggar UU tentang Partai Politik. Namun, kita memandang karena ada kepengurusan ganda di dalam Partai Golkar, tidak memberikan pengesahan kepada salah satu kubu adalah langkah yang punya dasar hukum. Pemerintah harus mendorong agar kepengurusan ganda di dalam Golkar diselesaikan sesuai dengan mekanisme internal Partai Golkar, apakah melalui mahkamah partai atau mekanisme pengadilan. Pemerintah tidak perlu terlibat.

Konflik berkepanjangan dalam tubuh Golkar jelas akan merugikan Golkar sendiri. Dualisme kepengurusan itu juga akan menyulitkan Partai Golkar untuk mengajukan calon kepala daerah serentak yang digelar tahun 2015. Hal serupa juga akan menyulitkan Partai Golkar dalam mengendalikan 91 anggota DPR Golkar di DPR.

Kita mendorong elite Partai Golkar yang pengurusnya sudah punya pengalaman dalam berpolitik bisa menyelesaikan konflik internalnya sehingga Golkar bisa mewujudkan slogannya, "Suara Rakyat, Suara Golkar", secara lebih leluasa. Konflik berkepanjangan hanya akan membuat Golkar tersandera dalam pertarungan perebutan kursi ketua yang pada akhirnya hanya akan mengabaikan kepentingan rakyat. Kita yakin senior Golkar bisa menyelesaikan konflik di dalam tubuh partai tersebut.

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010590995
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger