Majalah
Setelah pemerintahan kembali ke Jakarta (1950-1965), terdapat dua fase penegakan hukum, khususnya korupsi, yang berbeda. Pertama, ketika korupsi dianggap sebagai kejahatan individual walaupun dilakukan tokoh partai. Kedua, pemberantasan korupsi dikaitkan dengan keberadaan kekuatan politik.
Pada tahap pertama, ketika Jaksa Agung dijabat Soeprapto (1950-1959), hukum benar-benar ditegakkan. Soeprapto, yang lahir di Trenggalek,
Bukan hanya tokoh nasionalis seperti Roeslan Abdulgani yang diperiksa, juga kalangan lain. Dari kelompok Islam tersua KH
Masykur (mantan Menteri Agama dalam kasus dugaan korupsi kain kafan dari Jepang), Letnan Jusuf Hasyim (dugaan membantu DI/ TII), Kasman Singodimejo (kasus penghasutan di depan umum).
Dari golongan kiri tercatat kasus DN Aidit (pencemaran nama baik Bung Hatta), Sidik Kertapati (dugaan makar). Dari partai sosialis adalah mantan Menteri Ekonomi Sumitro Djojohadikusumo diperiksa karena kasus pencemaran nama baik.
Dari etnisitas Tionghoa terdapat Lie Kiat Teng (mantan Menteri Kesehatan) dan Ong Eng Die (mantan Menteri Keuangan); keduanya dalam kasus dugaan penyalahgunaan jabatan.
Tokoh daerah yang diadili adalah Sultan Hamid Algadrie II (dalam kasus makar yang melibatkan Westerling). Wartawan senior yang ketika itu pernah diperiksa pengadilan adalah Asa Bafagih, Mochtar Lubis, BM Diah, dan Naibaho (Pemimpin Redaksi
Yang patut dicatat adalah kasus Roeslan Abdulgani, yang pada 16 April 1957 didenda Rp 5.000 karena terbukti "lalai" membawa uang titipan seorang pengusaha sebesar 11.000 dollar AS ke luar negeri. Sebelum kasus itu disidangkan, Soeprapto mendapat nota dari Perdana Menteri Ali Satroamidjojo agar kasus ini dipetieskan.
Soeprapto berkeberatan. Dalam pertemuan kabinet terbatas, Ali mengulang permintaannya agar Soeprapto mendeponir kasus ini. Alasannya, pemerintah sedang menghadapi berbagai persoalan besar seperti pemberontakan di Sumatera. Pengusutan kasus pelanggaran kecil dari seorang tokoh penting partai besar dan seorang menteri luar negeri hanya akan menambah beban pemerintah. Soeprapto menegaskan bahwa semua masalah dalam negeri adalah tanggung jawab pemerintah dan tidak ada hubungannya dengan kasus Roeslan.
Sekalipun Ali dan Soeprapto sama-sama bersikap koersif dalam rapat kabinet, seusai rapat sikap keras itu hilang. Soeprapto menaruh hormat kepada Ali dan mengobrol tentang soal lain seperti tidak pernah terjadi apa- apa.
Sehabis sidang kabinet itu, Soeprapto bertemu dengan Presiden Soekarno. Presiden juga menyarankan untuk menghentikan perkara ini. Kata Soekarno, Roeslan itu jujur dan baik dan sekalipun didenda cuma 50 sen, itu akan merusak nama baiknya. Soeprapto menjawab bahwa dia lebih memperhatikan kepentingan umum daripada kepentingan seorang pejabat. Akhirnya Roeslan divonis membayar denda Rp. 5.000.
Roeslan Abdulgani adalah seorang tokoh besar Indonesia. Seorang pahlawan yang telah mengorbankan beberapa jari tangannya ketika terjadi aksi militer Belanda pada 19 Desember 1948 di Yogyakarta.
Roeslan dalam sidang pengadilan dengan tegas mengatakan bahwa ia tidak tahu bahwa amplop yang dititipi itu berisi uang, padahal waktu itu ada larangan membawa dollar ke luar negeri dalam jumlah banyak. Akhirnya denda pengadilan itu dibayar oleh panitia rehabilitasi nama baik Roeslan yang mengumpulkan uang dari masyarakat yang bersimpati kepada Cak Roeslan.
Pada era demokrasi liberal (1950-1959) pemerintahan silih berganti, tetapi masyarakat percaya, pengadilan memberikan keputusan hukum yang terbaik. Baru setelah SOB, keadaan darurat perang, ditetapkan oleh pihak militer pada 1957, pengadilan sipil secara berangsur-angsur kehilangan otoritas.
Pada 1957, pemerintahan Soekarno membentuk badan pemberantasan korupsi yang bernama Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) yang dipimpin oleh Jenderal Abdul Harris Nasution. Pada 1963, Nasution melakukan Operasi Budhi yang mengusut perusahaan negara dan lembaga lainnya yang rawan korupsi, termasuk BUMN hasil nasionalisasi yang menempatkan perwira militer sebagai pemimpinnya.
Dalam operasi itu, Mayor Jenderal Soeharto (kemudian menjadi presiden kedua RI) termasuk yang diperiksa. Ketika itu Soeharto menjadi Pangdam Diponegoro yang akhirnya "disekolahkan" ke Seskoad. Pada 1963, perimbangan kekuatan politik terbelah antara PKI dan Angkatan Darat serta Presiden Soekarno di atasnya. Masyumi dan PSI sudah dibubarkan. Pengusutan yang dilakukan Operasi Budhi itu dianggap akan melemahkan tentara yang pada gilirannya akan menguntungkan PKI. Itu menjadi salah satu alasan Operasi Budhi dihentikan dan selanjutnya pemberantasan korupsi mengalami stagnasi.
Pengalaman sejarah Bung Karno mengajarkan bahwa pemberantasan korupsi dapat dilakukan jika pelakunya dianggap sebagai individu walaupun pemimpin partai, tetapi menjadi berbahaya apabila dikaitkan dengan eksistensi atau prestise sebuah kekuatan politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar