Faktor eksternal masih jadi penyebab utama. Pelemahan rupiah terutama dipicu kegamangan pasar mengantisipasi pidato pemimpin The Fed, Janet Yellen, pekan ini. Lewat pidatonya, Yellen diprediksi memberikan sinyal semakin kuat kenaikan suku bunga AS, sejalan dengan terus membaiknya ekonomi AS. Kebijakan pelonggaran moneter Bank Indonesia pada 17 Februari dianggap juga berpengaruh.

Rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terburuk, melemah paling tajam, di Asia Pasifik. Mata uang ini melemah hampir 3 persen sejak awal tahun. Namun, BI dan pemerintah tampaknya masih membuka ruang bagi rupiah untuk terdepresiasi hingga akhir tahun ini.

Beberapa pertimbangan: melemahnya rupiah dianggap sangat menolong daya saing ekspor, khususnya manufaktur, dan posisi neraca perdagangan/transaksi berjalan yang dilanda defisit. Pada level saat ini, nilai tukar riil rupiah dianggap masih mahal dibandingkan dengan mata uang negara-negara pesaing ekspor di kawasan sehingga ekspor tak kompetitif. Artinya, dimungkinkan rupiah dibiarkan melemah lagi.

Sampai di mana BI akan menoleransi pelemahan rupiah? Sejauh ini, baik pemerintah maupun BI menganggap pelemahan rupiah sampai saat ini masih sejalan dengan fundamental ekonomi. Artinya, BI tidak akan tergesa-gesa intervensi agresif di pasar.

Selain stabilitas makroekonomi, concernutama BI dan pemerintah tampaknya juga mendorong pertumbuhan ekonomi. Langkah menurunkan BI Rate pekan lalu—selain sejalan dengan tren pelonggaran moneter di kawasan menyusul turunnya harga minyak dan tekanan inflasi— juga tak terlepas dari kepentingan mendongkrak ekspansi kredit perbankan untuk menggerakkan ekonomi.

Kekhawatiran terhadap kemungkinan dampak negatif kenaikan suku bunga di AS—yang bisa memicu pembalikan modal dari negara berkembang—juga teredam oleh kenyataan masih derasnya arus modal masuk ke Indonesia, baik di pasar modal maupun di pasar surat utang pemerintah. Hal ini tak terlepas dari ekspektasi positif pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan, sejalan dengan upaya agresif pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur.

Berapa kurs ideal, tentu tak bisa dilepaskan dari konteks global dan makroekonomi dalam negeri secara keseluruhan. Kuncinya, bagaimana mengelola keseimbangan berbagai faktor yang berpengaruh pada rupiah dan makroekonomi dalam negeri ini. Untuk sementara, mungkin kita harus terbiasa dengan kurs di sekitar level saat ini.

Namun, dalam jangka panjang, kita tak bisa membiarkan rupiah terus lemah karena kurs rupiah juga cermin dari soliditas dan kepercayaan terhadap perekonomian itu sendiri. Belum lagi kebutuhan pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat akan dollar juga masih sangat besar, untuk impor, membayar utang/dividen, ataupun kebutuhan lain. Kita juga harus mewaspadai dampak melemahnya rupiah terhadap daya beli masyarakat dan inflasi dalam negeri.