Tiga remaja putri Inggris yang diduga akan bergabung dengan Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) dikatakan sudah menyeberang ke kota Kilis di Suriah. Mereka, Kadiza Sultana (16), Shamina Begum (15), dan Amira Abase (15), diduga terbius janji-janji utopia dan petualangan oleh NIIS lewat media sosial.

Kelompok militan ini selalu menyebarkan video terkait hukuman mati yang dilakukan terhadap sanderanya untuk memberikan efek teror yang lebih masif. Dalam video yang beredar luas itu, diperlihatkan bagaimana dua warga Jepang lehernya dipenggal dan pilot Jordania dibakar hidup-hidup.

Kelompok pemikir anti ekstremisme, Quilliam Foundation, mengatakan, ada upaya dari NIIS untuk mencekoki remaja di Inggris dengan keyakinan bahwa mereka mempunyai tanggung jawab moral untuk bergabung dengan milisi. Quilliam memperkirakan, sedikitnya 600 warga Inggris, dengan 10 persennya perempuan, pergi ke Irak dan Suriah, dan sebagian besar dari mereka bergabung dengan NIIS.

Media sosial, seperti Facebook, Twitter, atau Instagram, adalah teknologi yang secara efektif dapat menghubungkan orang di seluruh dunia. Lewat media sosial, seseorang bisa mendapat inspirasi, simpati, ataupun teror. Seperti yang terjadi di Timur Tengah ketika Arab Spring, yang membuat sebagian negara di kawasan tersebut bergolak berkat media sosial. Efektivitas media sosial sudah terbukti dapat memengaruhi sebuah gerakan, seperti pada pemilihan presiden tahun lalu.

Sebagai alat penyebaran paham kekerasan agama, media sosial lebih efektif dibandingkan dengan jalur dakwah konvensional. Mereka diduga memanfaatkan imigran asal Afrika dan Timur Tengah di Eropa untuk menyebarkan paham kekerasan lewat media sosial. Perdana Menteri Inggris David Cameron pun meminta perusahaan internet menangkal ancaman penyebaran paham garis keras.

Warga Indonesia pun tidak luput dari paparan lewat media sosial paham kekerasan itu. Beberapa situs secara terang-terangan memuat berita yang berpihak kepada mereka, penganut garis keras tersebut.

Meski beberapa warganya terlibat dalam gerakan itu, sampai sekarang belum ada pernyataan resmi Pemerintah Indonesia yang meminta aparat menangkal atau mengawasi isi situs tersebut. Sudah saatnya kita mengawasi isi situs-situs tersebut—mengingat penggunaan media sosial di Indonesia sangat besar—jika kita tidak ingin melihat remaja kita terpikat seperti tiga remaja Inggris itu.