Menurut Badan Pusat Statistik pekan lalu, skor indeks kebahagiaan Indonesia tahun 2014 adalah 68,28 dengan skor paling bahagia pada angka 100. Skor ini naik dari tahun sebelumnya 65,11.
Indeks ini mengukur kepuasan 70.631 kepala rumah tangga atau pasangan kepala rumah tangga terhadap 10 aspek, yaitu pendapatan rumah tangga, kondisi rumah dan aset, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, keharmonisan keluarga, kondisi keamanan, dan keadaan lingkungan.
Responden merasa paling puas pada aspek keharmonisan rumah tangga (78,89) meski kenaikan skornya terendah dibandingkan dengan tahun lalu. Skor kepuasan terendah pada aspek pendapatan rumah tangga (63,09) meski kenaikannya tertinggi (5,06 poin) dari tahun 2013.
Selama ini ukuran yang umum digunakan adalah tingkat pertumbuhan ekonomi secara kuantitatif. Ukuran ini mengandaikan, kegiatan ekonomi yang tinggi akan memberi lapangan pekerjaan bagi banyak orang dan meningkatkan pendapatan rakyat.
Setidaknya, sejak krisis keuangan dan ekonomi Asia tahun 1998 serta krisis keuangan di Amerika Serikat dan Eropa pada 2008, semakin jelas ukuran pertumbuhan ekonomi, produk domestik bruto (PDB), saja tidak cukup untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat.
Untuk mengimbangi perhitungan berdasarkan PDB, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengukur indeks pembangunan manusia (IPM). Selain pertumbuhan ekonomi, IPM mengukur tingkat kesehatan dan umur harapan hidup, pendidikan dan tingkat penguasaan pengetahuan, serta standar hidup layak, termasuk relasi jender.
Karena itu, negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi belum tentu memberi kesejahteraan—yang dapat diartikan dalam hal tertentu sebagai kebahagiaan—rakyatnya.
Banyak negara mencoba mengukur tingkat kebahagiaan rakyatnya. Butan dan Thailand mengukur indeks kebahagiaan nasional bruto sebelum tahun 2009. Nicolas Sarkozy sebagai Presiden Perancis pada 2008 menugasi tiga ekonom, Joseph E Stiglitz, Amartya Sen, dan Jean-Paul Fitoussi, menyusun konsep pengukuran kesejahteraan.
Proklamator Mohammad Hatta mengatakan, tujuan kemerdekaan Indonesia adalah membuat rakyat bahagia, yaitu cukup sandang, pangan, papan, dan merasa aman. Kenyataan Indonesia saat ini, ketimpangan kemakmuran adalah yang tertinggi sejak kemerdekaan. Ketimpangan juga terjadi antarwilayah, antara kota-desa, dan antar-pekerjaan. Penguasaan modal pada sekelompok orang dan kelompok semakin kasatmata.
Pemerintah harus menyelesaikan ketimpangan itu sebagai amanat UUD 1945. Rakyat harus sungguh bahagia dan sejahtera agar tidak timbul gejolak sosial.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011896369
Tidak ada komentar:
Posting Komentar