Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 09 Maret 2015

Menolak Bancakan Anggaran (YUNARTO WIJAYA)

Bancakan APBN dan APBD bukanlah sebuah isu baru.

Praktik ini sudah menjadi rahasia umum, meski tak semuanya bisa dibuktikan secara hukum. Tetapi, dari jumlah pelaku yang terjerat saja dapat dibayangkan tingkat kemasifannya.

Data Kementerian Dalam Negeri pada September 2014 yang dimuat media, menyebutkan ada 3.169 anggota DPRD tersangkut kasus korupsi selama rentang 2005-2014. Informasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi pada September 2014 juga menyebutkan adanya sekitar 3.600-an anggota DPRD terlibat kasus korupsi. Sebelumnya, pada Januari 2014, Kemendagri juga merilis informasi ada 318 kepala daerah yang tersangkut korupsi. Pada Juli 2014, Menteri Dalam Negeri (waktu itu) Gamawan Fauzi malah menyebut angkanya sudah bertambah menjadi 330.

Dari berbagai kasus yang terungkap, ada beberapa yang menjadi pembicaraan tingkat nasional. Contohnya, korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran periode 2003-2005 yang melibatkan seorang menteri dan kepala daerah (gubernur/bupati/wali kota) di 22 wilayah Tanah Air.

Kegaduhan kembali terjadi. Kali ini dari Jakarta. Ada pengguliran hak angket terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dari DPRD. Ada berbagai pemberitaan yang membenarkan tudingan Basuki mengenai adanya dana siluman. Ada guliran dukungan dari publik terhadap Basuki yang ditimpali wacana ihwal prosedur yang barangkali dilanggar Basuki. Ini masih dibumbui berbagai spekulasi konspirasi politik.

Pembiaran parlemen

APBD sebagai instrumen "bagi-bagi" proyek seakan sudah dianggap sebuah kewajaran. Para pihak yang terlibat merasa berhak mendapat bagian. Rasa berhak untuk sebagian muncul dari anggapan bahwa mereka memiliki jasa memungkinkan proyek tersebut masuk dalam anggaran.

Meski banyak pihak mengetahui praktik bancakan terhadap APBD, nyaris tak ada upaya yang berarti untuk menghentikannya. Berbagai proses perbaikan prosedural memang sudah dilakukan, tetapi para pihak yang terlibat segera beradaptasi untuk menyiasatinya. Ini menandakan, butuh jalan yang lebih subtantif untuk menata ulang, lebih tepatnya: menjungkirbalikkannya!

Dalam proses penyusunan APBD/APBN, parlemen memiliki tugas utama memastikan aspirasi konstituennya terakomodasi dalam anggaran dan mengawasi penggunaannya. Secara normatif, konstituen dimaksud merujuk pada pemilih di daerah pemilihannya dan atau kelompok masyarakat berbasis sektoral. Dalam praktiknya, lingkup konstituen pun melebar (sebut saja sebagai konstituen sekunder). Mereka meliputi, antara lain, teman/elite separtai, para penyumbang kampanye, kerabat, diri sendiri, dan bahkan temannya teman.

Anomalinya: aspirasi konstituen sekunder menjadi yang utama, sementara aspirasi dan kebutuhan konstituen primer sekadar menjadi pelengkap. Aspirasi konstituen sekunder berkutat pada isu bagaimana lebih banyak lagi mendapatkan uang, sementara aspirasi konstituen primer lebih terfokus kepada bagaimana kebutuhan mereka sebagai warga terlayani. Melayani aspirasi konstituen sekunder menjanjikan imbalan (materi dan politik) yang bersifat segera dan pasti, sementara memperjuangkan aspirasi konstituen primer tak serta-merta menjamin keterpilihan kembali pada periode berikutnya.

Keleluasaan anggota Dewan untuk lebih menomorsatukan aspirasi konstituen sekunder seolah mendapat lampu hijau karena tak adanya arahan, rambu-rambu atau pengawasan dari partai politik secara ketat. Pergunjingan baru terjadi jika anggota Dewan itu dianggap tak berbagi atau tak mau melayani aspirasi (elite) parpol. Dengan kata lain, parpol melakukan pembiaran, jika tak mau disebut turut menganjurkan.

Pembiaran ini berpangkal pada kesepahaman yang sama: politik membutuhkan uang. Tidak terlalu penting bagaimana asal- muasal uang tersebut diperoleh. Lebih daripada itu, pembiaran juga bersumber pada nilai yang sama: sudah sewajarnya sebagai elite ikut mendapatkan bagian dari anggaran tersebut. Ini berpangkal pada asumsi, rekanan pemerintah dan pengguna anggaran juga turut menikmatinya. Singkatnya, anggaran pemerintah (APBD/APBN) adalah hak bagi kaum elite, sementara masyarakat dianggap sebagai pihak yang harus nrimodan malah semestinya berterima kasih karena dilayani dengan penggunaan anggaran, apa pun kuantitas dan kualitas yang diberikan.

Dari sisi ini, bancakan APBD/APBN semestinya bisa diminimalkan jika parpol mau berperan sebagaimana seharusnya. Ketika parpol membiarkan dan terkesan malah menganjurkan, bancakan anggaran akan terus terjadi sungguhpun ada satu-dua ataupun rentetan kasus yang kemudian terungkap ke publik.

Dekonstruksi sistem

Langkah Basuki membongkar dan memotong dana siluman di APBD merupakan sikap terbilang radikal di era di mana sesama kaum elite jamaknya saling bernegosiasi dan berkompromi. Namun, langkah ini tak akan banyak berarti jika Basuki dibiarkan sendirian, tanpa adanya kemauan semua pihak mengakhiri praktik-praktik bancakan anggaran. Proses penyusunan dan penggunaan anggaran harus dikembalikan kepada tujuan dasarnya, yakni melayani warga, membangun daerah, dan karenanya memperkuat daya saing bangsa.

Berapapun besar anggaran yang tersedia pada dasarnya terbatas jika dibandingkan permasalahan yang hendak diselesaikan. Karena itu, skala prioritas menjadi penting. Penentuan prioritas menunjukkan tingkat kepekaan dan kegentingan atas masalah atau layanan yang menjadi kebutuhan warga. Ketika kedua hal ini tak dimiliki anggota Dewan atau eksekutif, penetapan prioritas menjadi kacau-balau: yang tak dibutuhkan dianggarkan, yang dibutuhkan diberi porsi ala kadarnya atau malah ditunda.

Sudah saatnya tak terjebak dalam dilema telur-ayam: harus berawal dari parpol atau dari pengguna anggaran (eksekutif) untuk memulai. Idealnya, penjungkirbalikan ini berlangsung dari parpol (melalui anggotanya di parlemen) dan eksekutif pada saat bersamaan. Aras utamanya tentu saja perubahan nilai-nilai. Prosedur dengan sendirinya akan mengikuti. Ketika parlemen dan eksekutif sudah memiliki nilai sama, rekanan pemerintah akan terpaksa menyesuaikan diri.

Partai harus membangun nilai-nilai (values), membuat panduan, rambu-rambu, dan sekaligus mengawasi pola tingkah anggotanya di parlemen. Dari parpol pula, anggota Dewan akan mendapat amanat untuk membuat regulasi yang dapat meminimalkan terjadinya bancakan dan terwujudnya pengawasan terhadap penggunaan anggaran secara berlapis dan saksama.

Regulasi yang perlu diutamakan, antara lain menyangkut sisi penyerapan aspirasi. Dalam konteks ini, misalnya, ada gagasan participatory budgeting yang sudah didengungkan sejak 2000. Jika diimplementasikan secara utuh akan dapat memperbaiki berbagai kelemahan model Musrenbang yang hingga kini masih terus digunakan. Dari sisi pengadaan dan pengawasan, juga perlu diperkuat lagi implementasi gagasan e-budgeting. Terkait pengawasan, e-budgeting juga harus diamanatkan untuk menyediakan informasi yang lebih rinci mengenai APBD/APBN, bukan sekadar informasi secara umum.

Parpol memiliki peluang dan sekaligus tugas kesejarahan. Partai yang berani memulai dan konsisten melaksanakannya akan memiliki diferensiasi yang kuat dibandingkan parpol lainnya.

YUNARTO WIJAYA

Direktur Eksekutif ChartaPolitika Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul "Menolak Bancakan Anggaran".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger