Singkatan ini meringkas rangkaian teknologi, rekayasa, ilmu, matematika dan seni; merupakan padanan dari
Meski matematika tak seiras (identik) dengan TRI, rasanya tidak ada orang yang menyangkal bahwa matematika dan TRI saling bertaut-berkelindan. Kita hanya bisa terheran-heran melihat betapa efektif dan saksamanya matematika dalam "membahasakan" dan ikut mengembangkan TRI.
"Memilih keindahan"
Teknologi dapat dianggap ilmu yang diterapkan untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Di terasnya, artinya di inti yang menumbuhkembangkan teknologi itu, ada rekayasa (
Karena itu, teknologi dan perekayasaan yang membuahkannya tidak "mengatasi masalah tanpa masalah". Jika teknologi terlalu gegabah melanggar asas ilmiah, muncullah masalah. Dan, masalah ini bisa justru lebih parah daripada yang sedianya hendak diatasinya. Bahkan, yang terjadi bisa saja bukan sekadar masalah, tetapi musibah!
Itu semua karena perekayasaan dan sentuhan-sentuhan akhir yang "menyempurnakan" purwarupa (
Teknologi dibangun melalui perekayasaan dengan ilmu dan kiat. Semakin tinggi dan canggih suatu teknologi, semakin besar pula muatan ilmunya daripada kiatnya. Namun, seberapa canggihnya suatu teknologi, niscayalah ia masih mengandung kiat. Kiat itu bermanfaat dan memudahkan pekerjaan, tetapi kalau dicermati secara ilmiah, bisa saja kiat itu ternyata salah. Kalaupun tidak salah, batas-batas ranah kesahihannya tidak diketahui sehingga secara tak disengaja dilangkahi. Alhasil: musibah!
Teknologi itu lalu harus diperbaiki atau diganti dengan teknologi yang lebih baik. Perekayasa dan perancangnya harus mulai lagi dari awal. Penggarapan dan penggarapan ulang ini bagaikan kisah Sisyphus. Raja Korintus ini memerintah dengan bengis. Karena itu, setelah kemangkatannya, di Hades (alam barsah) ia dihukum Dewa. Ia harus mengingsut-ingsut batu "gajah" yang besar dan sangat berat ke atas bukit. Namun, sesampainya di puncak bukit itu, batu itu menggelinding ke bawah lagi. Maka, Sisyphus-Kumara harus turun ke kaki bukit itu, lalu mulai menggeser-geserkan batu besar itu ke atas lagi.
Menurut astronomiwati-
Pada aras yang tinggi, apabila sudah mendekati "sempurna", TRIM itu indah; berarti artistik, berseni. Kebenaran ilmiah menyatu dengan keindahan seni. Adalah Hermann Weyl, matematikawan-
Ya, ilmu itu seperti seni. Pada tingkatannya yang tinggi, yang nyaris "sempurna",baik ilmu maupun seni sama-sama indah. Bagi filsuf Plato, matematikawan Geoffrey H Hardy, dan astronom Max Tegmark, setidak-tidaknya matematika itu bukan hanya alat atau bahasa, kendati alat/bahasa keefektifannya tak terkira. Matematika berpijak pada realitas tersendiri, yang bukan hanya kokoh, tetapi juga indah dan lebih hebat daripada realitas fisis.
Ada juga ilmuwan-ilmuwan yang berpandangan sebaliknya. Bagi matematikawan seperti Morris Kline, Sir Michael Atiyah, dan James Newman, matematika adalah konsep abstrak ciptaan pikiran manusia. Begitu pula bagi fisikawan Albert Einstein dan kosmolog Mario Livio.
Keindahan matematika ada yang dapat dinikmati secara visual, seperti pada pola repetitif yang dibangkitkan dengan algoritma dan dikerjakan dengan komputer. Visualisasi himpunan Mandelbrot itu, yang disebut fraktal, seindah panorama alam.
Namun, keindahan matematika yang dimaksud Hardy dan keindahan teori fisika yang matematis—seperti elektrodinamika Maxwell dan relativitas Einstein—adalah bukan keindahan visual, melainkan keindahan yang diserap dan diresapkan dengan pikiran. Itulah keindahan yang membersit ke luar dari kesederhanaan, keefektifan, kepanggahan (konsistensi), kesaksamaan, dan kerampatan (
Hakikat realitas
Baiklah, ilmu beserta matematika yang membantu pengembangannya serta rekayasa dan teknologi yang memberinya jalan penerapannya, tidak hanya benar, tetapi juga indah. Ia seindah seni. Akan tetapi, apakah ia lebih hakiki dan lebih pasti daripada seni? Ilmu berancas menemukan kebenaran tentang hakikat realitas. Namun, ujar astronom Australia, Robert Hanbury Brown, di satu pihak realitas itu sangat kompleks dan bahkan misterius. Sementara di pihak lain, sepintar apa pun manusia, akal budinya terbatas. Maka, mampukah ilmu mencapai tujuannya? Akan pernah terwujudkah impian ilmuwan untuk merajut teori tentang "segala sesuatu", yang dinamika
L WILARDJO
FISIKAWAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul "Keindahan Ilmu dan Seni".
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar