Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 06 April 2015

Politik Dinasti dan UU Pilkada (INDRA PAHLEVI)

Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi undang-undang, beberapa waktu lalu, hampir semua partai politik pada umumnya dan para bakal calon kepala daerah sudah berancang-ancang.

Yang paling kentara adalah bagaimana caranya menyiasati persyaratan "politik dinasti", sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 Huruf r yang menyatakan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana bagi calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota) dengan penjelasan, yaitu yang memiliki ikatan perkawinan dan darah lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping. Yang termasuk dalam persyaratan tersebut adalah suami/ istri, orangtua, mertua, paman, bibi, anak, menantu, adik, kakak, dan ipar kecuali jeda satu periode (lima tahun).

Reaksi dan upaya siasati celah

Reaksi paling pertama adalah dengan mengajukan uji materi atas ketentuan Pasal 7 Huruf r tersebut ke Mahkamah Konstitusi karena dinilai membatasi hak politik seseorang untuk menjadi calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah, baik di level provinsi maupun kabupaten/kota, dan melanggar konstitusi terutama Pasal 28D Ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945  yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Cara ini sangat konstitusional karena memang secara yuridis normatif, mekanisme uji materi adalah saluran paling konstitusional untuk menguji ketentuan dalam undang-undang yang sudah tercantum dalam lembaran negara. Proses berikutnya tentu Mahkamah Konstitusi akan menguji apakah ketentuan tersebut, yakni Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015, yang menyatakan bahwa "tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana" disertai penjelasannya.

Selanjutnya, dengan ketentuan tersebut juga akan muncul beberapa kondisi (jika tetap berlaku atau tetap dipertahankan oleh Mahkamah Konstitusi) bagaimana kiranya jika para petahana, baik kepala daerah maupun wakil kepala daerah yang masih menjabat, mundur sebelum masa jabatannya berakhir sehingga kerabatnya bisa mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah pada pilkada serentak tahun 2015 ini?

Siasat lainnya adalah bagaimana jika kepala daerah petahana yang saat ini berstatus sebagai terpidana dan telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) dan sisa masa jabatannya sekitar dua tahun lagi, lalu kerabatnya, misal anaknya, akan maju dalam pilkada mendatang? Masih banyak lagi kondisi lainnya yang bisa dimanfaatkan para pihak yang berkepentingan sebagai celah untuk bisa mengajukan para kerabat, termasuk jika kerabat kepala daerah akan maju menjadi wakil kepala daerah.

Berbagai kondisi di atas dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi yuridis formal (ketentuan normatif dalam undang-undang) yang memang tidak bisa mengatur secara detail berbagai kondisi di atas serta sisi kepantasan politik, yakni pertimbangan berdasarkan etika dengan melihat pengalaman selama ini yang terjadi di beberapa daerah dengan munculnya fenomena politik dinasti yang dinilai "mengurangi makna demokrasi" serta menjadi kritik masyarakat sekaligus mengusik nilai-nilai demokrasi universal yang mengedepankan asas keadilan dan kesetaraan bagi semua warga negara untuk menjadi calon kepala daerah melalui pemilihan secara langsung.

Dalam konteks membangun demokrasi yang substansial, seharusnya kita harus mengedepankan pertimbangan etika dan kepantasan  politik ketimbang mencari celah atas norma undang-undang yang tidak bisa mengatur secara rinci dan akan tetap memiliki celah untuk disiasati. Padahal, kita semua tahu bahwa adanya pengaturan dalam Pasal 7 Huruf r dalam rangka memperbaiki praktik yang berlangsung selama ini. UU Pilkada sejatinya dalam rangka memperbaiki demokrasi lokal yang selama ini memiliki kekurangan, terutama dalam hal munculnya fenomena politik dinasti di sejumlah daerah.

Untuk kita ketahui, politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik  yang dijalankan sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Politik dinasti lebih identik dengan kerajaan sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun-temurun dari ayah kepada anak atau kerabatnya sesuai tata cara yang diatur dalam kerajaan tersebut agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga.

Secara umum, setiap orang berhak menjadi calon kepala daerah atau wakil kepala daerah yang juga ditegaskan dalam persyaratan Pasal 7  dengan pernyataan, "Warga negara Indonesia yang dapat menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: .", artinya warga negara tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan undang-undang.

Berbagai persyaratan tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan calon pemimpin daerah yang memiliki kemampuan serta menguasai ilmu dan seni memimpin, terutama bagaimana menyusun pola kegiatan yang efektif, menerapkan pola kekuasaan yang tepat dari sisi waktu dan tindakan serta lingkungan, memiliki pola kepemimpinan yang dapat menggerakkan bawahan dan masyarakat sehingga mencapai tujuan organisasi dan peningkatan kehidupan masyarakat (Kaloh, 2009: 7).

Patrimonialistik

Dalam praktik penyelenggaraan pemilihan kepala daerah sejak tahun 2005, muncul satu fenomena hadirnya politik dinasti, yaitu adanya kesinambungan pemerintahan dari lingkaran satu keluarga baik orangtua-anak, suami-istri, kakak-adik, dan lain-lain, bahkan untuk satu wilayah provinsi dengan melihat fenomena bupati/wali kota memiliki hubungan kekerabatan dengan gubernur. Tidak semua fenomena ini menghadirkan praktik yang jelek karena adanya kemajuan dan kesinambungan pembangunan di daerahnya. Namun, tidak sedikit justru menimbulkan persoalan baru karena adanya hegemoni atas berbagai sumber kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial di masyarakat.

Fenomena inilah yang kemudian menjadi kritik masyarakat atas berbagai fakta di lapangan yang mengarah pada terciptanya sebuah dinasti politik di daerah. Caranya, dengan melanggengkan kekuasaan keluarga melalui keikutsertaannya dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.

Meskipun cara seperti itu tidak dapat disalahkan, baik secara aturan (sebelum UU No 8/2015 lahir) maupun secara proses demokrasi, faktanya persoalan politik dinasti tersebut telah mencederai prinsip demokrasi itu sendiri. Ari Dwipayana pernah  menyatakan bahwa tren politik kekerabatan atau politik dinasti itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional, yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis ketimbangmerit system, dalam menimbang prestasi.

Menurut dia, kini disebut neopatrimonial karena ada unsur patrimonial lama, tetapi dengan strategi baru. Anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Oleh karena itu, patrimonialistik ini terselubung oleh jalur prosedural. Dengan kondisi tersebut, harus menjadi perhatian semua bahwa meskipun aturan dibuat seketat apa pun tetap berpotensi untuk diabaikan melalui cara-cara atau siasat yang dianggap tidak melanggar ketentuan perundang-undangan.

Salah satu alasan mengapa ketentuan itu lahir yang dibahas pada saat DPR dan pemerintah membahas RUU Pilkada periode 2009-2014 (serta tercantum dalam Perppu No 1/2014) yang merupakan RUU usul pemerintah adalah karena adanya dampak atas berlangsungnya apa yang disebut politik dinasti tersebut. Di daerah yang berlangsung politik dinasti tersebut, terlihat adanya politik hegemoni di kalangan keluarga saja meskipun terkadang sang pengganti, baik anak maupun istri, tidak memiliki kemampuan yang sama dalam hal kepemimpinan.

Akhirnya, sang pengganti, baik anak maupun istri, melaksanakan pemerintahan atas "kendali" sang ayah atau suami. Kondisi seperti ini kerap kali memunculkan situasi tidak kondusif dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah tersebut karena dikelola tidak berdasarkan kaidah pemerintahan yang baik. Padahal, seorang pemimpin termasuk di daerah merupakan pengendali roda organisasi pemerintahan di daerah yang berujung pada upaya peningkatan kesejahteraan rakyat dengan kekuasaan yang melekat dalam dirinya.

Ke depan, setelah diundangkannya UU No 8/2015, diharapkan praktik politik dinasti yang menghasilkan dampak buruk akan hilang dan diganti dengan sistem yang mampu menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas. Selain itu, undang-undang ini tidak menutup secara keseluruhan bagi kerabat petahana, tetapi diberikan jeda satu periode pemerintahan. Pada periode berikutnya, yang bersangkutan boleh ikut dalam kontestasi pemilihan kepala daerah.

INDRA PAHLEVIPENELITI PADA PUSAT PENGKAJIAN PENGOLAHAN DATA DAN INFORMASI (P3DI) DPR

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 April 2015, di halaman 6 dengan judul "Politik Dinasti dan UU Pilkada".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger