Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 06 April 2015

Obral Remisi Koruptor (ACHMAD FAUZI)

Negeri ini tidak mengenal musim gugur. Namun, itikad Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly untuk merevisi aturan tentang pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi telah merontokkan semangat pemberantasan korupsi.

Obral remisi koruptor tersebut memanen hujatan karena kering dari rasa keadilan dan kontraproduktif dengan konsep Nawacita yang dipekikkan Presiden Joko Widodo.

Dalam spirit Nawacita terkandung kehendak bersama untuk menolak negara lemah dengan mereformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya. Gagasan agung itu semestinya diterjemahkan dalam kebijakan konkret oleh pembantu presiden dengan tak memberikan kelonggaran remisi kepada koruptor. Obral remisi ialah bentuk nyata pelemahan daulat hukum, merusak ritme pemberantasan korupsi, dan berarti pula mengkhianati presiden dan rakyat.

Ke depan, lembaga negara yang terkait dalam sistem peradilan tindak pidana korupsi harus memiliki persepsi yang sama dalam mendefinisikan efek jera. Dengan begitu, karsa pemberantasan korupsi tidak bertepuk sebelah tangan: di satu sisi garang menjerat, tetapi di sisi lain ada tukang memberikan maaf. Karena itu, jika Menkumham tetap pada pendiriannya melonggarkan syarat remisi koruptor, maka akan menimbulkan beragam persoalan, seperti menurunnya kualitas efek jera dan kinerja pemberantasan korupsi akan sia-sia.

Acuan remisi

Selama ini pedoman pemberian remisi narapidana kasus kejahatan luar biasa, khususnya korupsi, mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. Ketentuan dalam PP ini memberikan syarat-syarat yang ketat kepada koruptor dalam pemberian remisi.

Pertama, sebagaimana diatur dalam Pasal 34 Ayat (2) dan (3) PP No 99/2012, remisi hanya dapat diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah memenuhi syarat berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan. Persyaratan berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun enam bulan terakhir terhitung sebelum tanggal pemberian remisi dan telah mengikuti program pembinaan oleh lembaga pemasyarakatan dengan predikat baik.

Kedua, harus memenuhi persyaratan lain yang terdapat pada Pasal 34A Ayat (1) PP No 99/2012, yakni bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya serta telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.

Adanya instrumen pengetatan remisi tersebut tidak serta-merta dapat diterapkan hanya menggunakan perspektif kacamata kuda. Sebab, ketentuan normatif bukan terdiri atas kumpulan pasal-pasal mati yang dapat diterapkan begitu saja tanpa melihat konteks sosial politik yang terjadi.

Saat ini korupsi masih jadi gejala masif dan tidak menunjukkan tanda akan berakhir. Keganasan gelombang korupsi terus memecah tanggul pemerintahan dari pusat hingga daerah. Menurut pantauan Indonesia Corruption Watch, sepanjang 2014, pelaku korupsi terbanyak ialah pejabat atau pegawai pemerintah daerah ataupun kementerian.

Kementerian Dalam Negeri mencatat, dari 60 persen kepala daerah yang terlibat kasus hukum, 80 persen di antaranya karena praktik korupsi. Sektor yang banyak menyeret kepala daerah ialah soal kongkalikong perizinan investasi yang melibatkan pengusaha hitam. Fakta menguatnya budaya korupsi di lingkup pemerintahan itu semestinya jadi data primer dalam mengkaji penting atau tidaknya merevisi aturan pemberian remisi koruptor.

Upaya merevisi PP No 99/2012 atas dalih adanya unsur diskriminasi bagi terpidana korupsi juga susah diterima akal sehat. Koruptor adalah pelaku kejahatan luar biasa yang tidak bisa disamakan perlakuannya dengan narapidana biasa. Justru Menkumham seharusnya jeli dan peka melihat kondisi negara yang sedang kelimpungan akibat korupsi. Pada 2014 saja ICW mencatat kerugian yang diderita negara akibat korupsi mencapai Rp 5,29 triliun. Angka ini seharusnya bisa digunakan untuk memperbaiki gedung sekolah yang reyot dan membangun jembatan agar anak-anak di pelosok punya akses mudah ke sekolah.

Kita bisa bayangkan-katakanlah-koruptor dihukum 13 tahun penjara. Namun, karena memperoleh kelonggaran remisi setiap tahunnya, akhirnya hanya menjalani hukuman badan separuh dari jumlah vonis yang dijatuhkan. Keluar dari penjara ia masih bisa hidup makmur. Sementara negara belum pulih dari kerugian yang diderita karena uang pengganti yang dibebankan kepada koruptor dikorupsi kembali dan ada pula yang belum dieksekusi.

Perspektif korban

Karena itu, kewenangan menteri di bidang hukum yang dimandatkan presiden tidak boleh memiliki implikasi merugikan negara. Pemerintah dalam merumuskan aturan pemberian remisi tidak sekadar dari perspektif hak pelaku saja, sedangkan kepentingan korban diabaikan.

Rakyat adalah korban (victim) yang mengalami dampak determinan dari korupsi. Masyarakat setiap tahun menyetor pajak ke kas negara. Sebagian uang itu digunakan pemerintah untuk ongkos pemberantasan korupsi. Bahkan, secara matematika, ongkos pemberantasan korupsi jauh lebih mahal ketimbang uang yang dikembalikan koruptor. Negara harus mengucurkan dana operasional KPK, kejaksaan, Pengadilan Tipikor, dan lembaga pemasyarakatan yang kesemuanya itu bersumber dari pajak rakyat. Rakyat sengsara, bukan?

Dalam situasi demikian, Presiden harus segera mengambil alih persoalan ini dengan bersikap tegas menolak rencana revisi peraturan pemberian remisi koruptor. Janji politik di bidang penegakan hukum yang pernah didengungkan di masa kampanye harus jadi lonceng pengingat yang tak boleh diingkari. Jika tidak, janji itu tak lebih sekadar limbah sejarah dan akan dicatat jadi legasi terburuk karena tak ada komitmen melawan lupa.

ACHMAD FAUZIHAKIM PENGADILAN AGAMA TARAKAN, KALIMANTAN UTARA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 April 2015, di halaman 7 dengan judul "Obral Remisi Koruptor".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger