Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 05 Mei 2015

MEA dan Mobilitas Internasional Dosen (FUAD RAKHMAN)

Masyarakat Ekonomi ASEAN mulai berlaku efektif pada 2015. Salah satu butir kesepakatan dalam MEA adalah kebebasan arus tenaga kerja antarnegara anggota ASEAN.

Beberapa sektor tampaknya belum siap menghadapi konsekuensi dari kebebasan arus tenaga kerja dalam skema MEA. Salah satunya, bidang pendidikan tinggi. Jauh sebelum isu MEA muncul, banyak universitas bertaraf internasional di dunia membuka peluang kepada semua individu yang memenuhi kualifikasi untuk menjadi dosen tanpa memandang kewarganegaraannya.

Tujuannya adalah untuk memperkaya portofolio dosen-dosen di universitas, memperkuat jaringan internasional, memudahkan universitas menjaring dosen dengan kualifikasi yang diinginkan, dan meningkatkan citra universitas sebagai institusi pendidikan yang mendukung pluralitas.

Tidak siap

 Perekrutan dosen lintas batas negara sudah menjadi kebiasaan di banyak universitas di Amerika, Eropa, Australia, Timur Tengah, dan bahkan di beberapa negara ASEAN. Namun, hal ini tampaknya belum menjadi tradisi di perguruan tinggi di Indonesia, terutama perguruan tinggi negeri.

Dengan sistem rekrutmen dosen seperti sekarang ini, di mana dosen berkualifikasi tinggi dari negara lain akan sulit untuk menjadi pengajar di Indonesia, sebenarnya negara telah kehilangan kesempatan untuk membenahi pendidikan tinggi kita yang kini secara internasional kurang kompetitif.

 Kesepakatan MEA tentang kebebasan arus tenaga kerja berpotensi menciptakan minat bagi warga negara asing di ASEAN, dan bahkan dari luar ASEAN, untuk menjadi dosen di universitas di Indonesia.

Ini bisa menjadi kesempatan emas bagi negara untuk "meminjam" keahlian mereka dalam memperkaya portofolio dosen-dosen di universitas kita dan mendorong terciptanya iklim akademik yang lebih profesional. Namun, sayangnya sistem kepegawaian dan kultur akademik kita belum mendukung ke sana.

 Ketidaksiapan pertama adalah mengenai peraturan dan kebijakan. Misalnya, apabila seorang bergelar full professordari luar negeri diterima menjadi dosen di Indonesia, apakah dia akan mendapat hak dan kewajiban yang sama dengan profesor kita?

Bagaimana dengan yang bergelarassociate professor, ini setara dengan apa? Siapa yang berhak menentukan kesetaraan ini? Lalu, apakah mereka diizinkan menjadi pegawai tetap ataukah hanya pegawai kontrak? Apakah mereka akan dibolehkan menjadi WNI dan berapa tahun harus bekerja di Indonesia untuk bisa menjadi WNI? Peraturan semacam ini perlu disiapkan, dan jika sudah ada, perlu disosialisasi ke institusi pendidikan tinggi kita.

 Kedua, struktur kompensasi di Indonesia tidak terlalu menarik bagi dosen asing, apalagi dari negara maju. Dosen di negara maju biasanya penghasilan utamanya adalah dari gaji tetap (yang relatif besar) dan kecil kemungkinan mereka memiliki penghasilan sampingan. Dengan penghasilan yang cukup dan beban mengajar yang rendah, dosen bisa lebih meluangkan waktu untuk fokus melakukan riset sehingga kualitas pendidikan dan penelitian akan terjaga.

Sebaliknya di Indonesia, dosen memiliki gaji tetap yang kecil, sementara penghasilan utamanya berasal dari pekerjaan sampingan. Struktur penghasilan semacam ini memberi sinyal yang salah dan tidak sehat bagi pengendalian kualitas pendidikan tinggi. Hal ini karena dosen akan cenderung mengabaikan pekerjaan utamanya sebagai pengajar dan peneliti, dan justru sibuk mencari penghasilan sampingan.

Pemerintah perlu menengok ke negara dengan kualitas pendidikan tinggi yang baik tentang bagaimana sistem kompensasi dosen ditetapkan sehingga terjadi keselarasan tujuan (goal congruence) antara dosen dan institusi pendidikan tinggi.

 Ketidaksiapan ketiga adalah kultur organisasi kampus yang besar kemungkinan belum siap menerima dosen asing, apalagi dalam jumlah yang signifikan. Kehadiran dosen asing berpotensi membantu menciptakan kultur akademik yang lebih profesional di satu sisi, tetapi di sisi lain akan menimbulkan shock. Penolakan sangat mungkin terjadi, apalagi kalau dosen asing tersebut akan mendapatkan posisi strategis di kampus.

Siapkan infrastruktur

Namun, bagaimanapun, pemerintah perlu menyiapkan infrastruktur yang memungkinkan dosen-dosen asing bekerja di institusi pendidikan tinggi kita. Mobilitas internasional dosen sudah menjadi tren di dunia pendidikan di tengah globalisasi yang telah mengaburkan batas antarnegara. Jika tidak, risikonya adalah mobilitas dosen akan berjalan satu arah. Yaitu, sebagian dosen kita yang berkualitas akan direkrut oleh universitas asing, sementara universitas kita kesulitan merekrut dosen asing yang berkualitas.

Dalam jangka panjang, Indonesia berpotensi kehilangan dosen-dosen terbaik karena biasanya yang disasar oleh universitas asing untuk direkrut adalah dosen-dosen kita yang paling berkualitas.

Praktik saling membajak dosen antar-universitas adalah hal yang lazim dalam dunia pendidikan sebagai konsekuensi dari internasionalisasi dan mekanisme pasar tenaga kerja. Cara yang paling mudah dan murah bagi sebuah universitas untuk membajak dosen di institusi lain adalah dengan mengirim surel kepada dosen-dosen yang disasar dan memberi "penawaran menarik". Dan, yang cukup mengkhawatirkan, beberapa dosen kita telah mendapatkan surel-surel penawaran semacam ini dari universitas asing.

 Komitmen pasar bebas tenaga kerja dalam skema MEA membawa konsekuensi bahwa mekanisme pasar akan berjalan. Setiap sumber daya dan tenaga kerja memiliki "harga wajar" di pasar internasional, tidak terkecuali dosen. Sistem kompensasi dosen perlu disesuaikan dengan tarif pasar internasional sehingga dosen asing yang berkualitas akan tertarik untuk menjadi pengajar di universitas kita. Atau paling tidak, dosen-dosen kita yang berkualitas tidak akan dengan mudah dibajak oleh universitas asing.

 Negara besar biasanya dicirikan dengan pluralitas. Dan, sudah saatnya pemerintah kita membuka diri atau paling tidak menyiapkan diri untuk suatu saat menerima dosen asing, seperti pada universitas di negara-negara besar lainnya.

 FUAD RAKHMAN

Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM 

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "MEA dan Mobilitas Internasional Dosen".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger