Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 05 Mei 2015

Pajak Korporasi Multinasional (DEDI HARYADI)

April  dua tahun  lalu, saat masih menjabat menteri keuangan, Agus Martowardojo mengungkapkan keprihatinan mendalam  tentang empat ribuan perusahaan asing/multinasional (multinational corporation)  yang tidak membayar pajak selama bertahun-tahun.

Keprihatinan  yang sama  baru-baru ini juga diartikulasikan  oleh  menteri keuangan yang baru, Bambang Brodjonegoro. Sayang, kedua menkeu  tidak mengungkap lebih jauh identitas perusahaan yang tidak bayar pajak itu. Kalau serius mau mengembangkan tata kelola pemerintahan  terbuka dan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) yang adil,  mestinya Kementerian Keuangan mendisklosur identitas perusahaan yang tak bayar pajak itu.  Kalau sekarang kerangka aturan tak memungkinkan melakukan itu, segera buat  agenda untuk mengubah aturan sehingga langkah itu menjadi mungkin.

Dengan dibukanya identitas perusahaan kepada publik, persoalannya akan bergeser, ia bukan lagi persoalan Kemenkeu atau lebih spesifik Ditjen Pajak semata, melainkan sudah menjadi persoalan publik.  Publik-yang biasanya diwakili organisasi masyarakat sipil dan media-akan memberikan tekanan yang cukup dan efektif kepada anak perusahaan multinational corporation(MNC) di sini  supaya membayar pajak. Demikian juga publik   di tempat induk perusahaan berada, biasanya di kota  besar negara maju, akan ikut memberikan tekanan yang sama. Meskipun belum kuat dan solid, jejaring kerja untuk melakukan itu sudah ada.

Apakah tidak bayar pajak empat ribuan perusahaan itu semata terkait problem ketidakpatuhan fiskus ataukah lebih karena ketidakmampuan pemerintah memungut pajak? Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana mengatasinya? Pertama, ini bukan melulu soal ketidakpatuhan fiskus atau ketidakmampuan pemerintah memungut pajak MNC.  Lebih serius dari itu , kita sedang berhadapan dengan  MNC  yang mengembangkan  strategi perencanaan pajak yang dikenal dengan istilah (tax) base erosion and profit shifting (BEPS). Kedua, ini bukan problem endemik khas Indonesia, melainkan sudah menjadi pandemik. Semua negara, mulai dari negara-negara berkembang sampai negara maju mengidap problem yang sama. Mungkin skala dan kemampuan penanganannya saja yang berbeda.  Ketiga, karena  pandemik dan problem ini terkait dengan entitas ekonomi negara lain, tak mungkin problem ini diselesaikan sendirian. Upaya menyelesaikan problem ini harus bersifat lintas negara dengan menggunakan skema bilateral  atau multilateral.

Menyulap dan menggeser keuntungan

BEPS pada intinya menyangkut dua hal. Pertama, bagaimana perusahaan multinasional menyulap keuntungan sampai rendah atau "hilang" sama sekali  sehingga luput dipajaki. Kedua, bagaimana menggeser keuntungan dari kawasan bertarif pajak tinggi ke kawasan yang bertarif pajak rendah atau bebas pajak sama sekali.  Dua hal ini berakibat pada tergerusnya pendapatan negara dari pajak. Dari sisi perusahaan, BEPS terjadi karena motif MNC untuk mendapatkan profit maksimum.  Dari sisi rezim pajak, kerangka kelembagaan, dan tarif pajak, misalnya, antarnegara memang berbeda-beda. Aturan pajak yang kedaluwarsa yang tidak bisa mengikuti perkembangan dan kemajuan ekonomi digital juga jadi penyebab BEPS.

Tarif pajak di Indonesia 25 persen dari pendapatan korporasi, di Brasil  15 persen, dan Kanada 15 persen. Kawasan sekretif, seperti  Swiss, Luksemburg, Hongkong , dan Singapura, jauh lebih rendah, bahkan nol persen. Menyulap dan memindahkan keuntungan dilakukan dengan mencari kelemahan, kesenjangan, dan ketidaksinkronan regulasi perpajakan internasional dan nasional. Kelemahan, kesenjangan,  dan ketidaksesuaian peraturan pajak ini yang kemudian dieksploitasi MNC.

Modus untuk  menyulap  dan memindahkan keuntungan MNC bisa melalui kombinasi cara ini: hybrid mismatches arrangement (HMA),  special purposes entities (SPE), dan transfer pricing (TP).  Ada dua tipe HMA, yaitu hibrida entitas dan hibrida instrumen.  Untuk hibrida entitas, dua rezim pajak memperlakukan transaksi pajak  berbeda untuk entitas bisnis yang sama. Hibrida instrumen,  dua rezim pajak memperlakukan instrumen finansial yang sama secara berbeda. Untuk SPE, membuat entitas bisnis  sementara guna mengakali transaksi keuangan. Sementara TP adalah rekayasa harga secara sistematis untuk mengurangi besaran profit sehingga mengurangi besaran pajak atau bea dari satu yurisdiksi pajak.  Aktivitas menyulap dan menggeser keuntungan ini dimungkinkan dengan eksistensi kawasan sekretif yang memang menawarkan jasa keuangan seperti itu. Kawasan sekretif  dimiliki dan dikuasai negara-negara maju.

Hilangnya sebagian pendapatan negara  dari pajak dan berkurangnya kemampuan membiayai pembangunan merupakan salah satu dampak serius yang ditimbulkan BEPS. Dalam konteks kesenjangan ekonomi antarnegara atau antarkelompok masyarakat , fenomena ini makin memperlebar kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Tahun 2013, Oxfam, pada Forum Ekonomi Dunia, meliris laporan yang menyebutkan 1 persen orang paling kaya di dunia menguasai sekitar 48 persen kekayaan dunia. Pada 2016   situasinya bisa lebih buruk, di mana penguasaan aset  oleh 1 persen orang terkaya itu akan di atas 50 persen.  Kontribusi dan kontrol MNC terhadap perekonomian dunia semakin besar dan kuat, bisa melampaui negara. Kesenjangan antara negara maju dan  negara berkembang juga kian lebar.

Tidak sepenuhnya tepat mengaitkan perilaku MNC  dengan ketimpangan ekonomi antara orang kaya dan orang miskin, demikian juga antara negara kaya dan negara maju. Hal ini karena  individu kaya, MNC, dan negara adalah tiga entitas dengan karakteristik dan kepentingan berbeda meski sering terlihat negara dijadikan kendaraan bagi MNC untuk menegakkan eksistensi dan  ekspansinya di suatu negara. Umumnya, jika ada satu MNC yang diusik kepentingan dan eksistensinya, pemerintah di mana MNC itu bermarkas akan ikut campur tangan.  

Namun, yang paling serius dan mengkhawatirkan adalah fenomena ini jelas menunjukkan hilang atau lemahnya kemampuan mempertahankan dan mengontrol kedaulatan ekonomi kita.  Bagaimana mungkin empat ribuan entitas bisnis asing yang mencari dan mendapat untung  dari wilayah dan sumber daya kita melenggang begitu saja tanpa bayar pajak ? Di mana letak kedaulatan ekonomi bangsa ini? Kita sudah  menjadi anggota dan terlibat  dalam skema kerja sama multilateral, seperti forum G-20 atau kerja sama antara forum G-20 dan  OECD. Sejak 2013, OECD telah mengembangkan  sebuah dokumen rencana aksi mengatasi BEPS. Dalam pertemuan G-20 di Brisbane, November 2014,  rencana aksi itu diperluas menjadi Proyek BEPS OECD/G-20. Proyek ini merupakan 15 rencana aksi mengatasi BEPS secara kolektif.

Rencana aksi itu di antaranya menangani tantangan perpajakan terkait perkembangan ekonomi digital, menetralkan pengaruh HMA, memperkuat peraturan tentang perusahaan asing, membatasi tergerusnya pendapatan melalui pengurangan bunga dan  pembayaran keuangan lain, mengembangkan metodologi untuk mengumpulkan dan menganalisis data BEPS dan tindakan mengatasinya, mewajibkan fiskus mempublikasikan rencana agresif pajaknya, check and recheckdokumentasi TP, serta mengefektifkan mekanisme penyelesaian sengketa.   

Mengembangkan Neo-Trisakti

Secara prinsip dan  teknis kita bisa mengadopsi  dan menerapkan langkah-langkah itu.  Kualitas sumber daya manusia bisa ditingkatkan. Konsultan terbaik bisa direkrut. Seperti yang dilakukan Lee Kuan Yew yang merekrut ekonom Belanda, Dr Albert Winsenmius, yang jitu memberi resep untuk pengembangan ekonomi Singapura. Perangkat lunak bisa dibeli dan dibangun. Peraturan bisa diadakan.  Secara parsial  dan inkremental, sebagian  rencana aksi OECD/G-20 sudah dikerjakan pemerintah saat ini.  Misalnya, kita sudah memiliki aturan tentang TP, dokumentasi TP, dan pertukaran informasi.

Akan tetapi, jawaban yang dibutukan untuk mengatasi masalah ini bukan melulu pada tataran kerangka kelembagaan, kebijakan, prosedur, administrasi, dan perangkat lunak.  Lebih dari itu, apa jawaban ideologis dan politis  kita terhadap persoalan itu  ?  Secara tidak langsung pertanyaan itu menyangkut dua hal. Pertama, tentang eksistensi, ekspansi, dan pertumbuhan perusahaan multinasional. Kedua, bagaimana kita menyikapi hal tersebut.

Apakah kita tidak terlambat mencari jawaban politis dan ideologis persoalan itu di tengah matinya pertarungan ideologis, kepungan MNC yang menggurita di berbagai sektor, dan tumpukan utang luar negeri ribuan triliun rupiah? Jauh sebelum MNC berkembang seperti sekarang,  hampir  enam dekade lalu Presiden Soekarno sudah bicara tentang Trisakti untuk bangsa ini: berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang kebudayaan.

Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla mengusung konsepsi Trisakti dalam kampanye pemilihan presiden dan setelah kemenangannya.  Konon, program pembangunan Nawacita turunan dari konsep Trisakti meski dalam praktiknya pemerintah memiliki keterbatasan dalam memahami, menafsirkan , dan menerjemahkan Trisakti Bung Karno ke dalam praksis pembangunan. Barangkali sudah saatnya mengembangkan proyek semacam Neo-Trisakti, pembaruan dan revitalisasi konsep dan praksis Trisakti. 

Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No 7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. Keputusan MK ini jelas merupakan aba-aba untuk pemulihan  kedaulatan dan kontrol negara/pemerintah atas pengelolaan sumber daya air untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Ada MNC yang bergerak dalam usaha air minum terpengaruh oleh keputusan MK ini. Di sektor perikanan dan kelautan, Menteri Susi Pudjiastuti melakukan berbagai manuver, termasuk moratorium pemberian izin penangkapan ikan dan penenggelaman kapal pencuri ikan, untuk memulihkan kedaulatan dan kontrol kita atas perairan dan sumber dayanya.

Di sektor energi dan pertambangan,  Kementerian ESDM  memberikan hak pengelolaan Blok Gas Mahakam kepada Pertamina setelah puluhan tahun dipercayakan dan dikuasai perusahaan asing. Kita sedang menunggu gebrakan-gebrakan baru yang berani dan orisinal dari Kemenkeu untuk memulihkan kedaulatan dan kontrol kita atas  MNC dan sumber daya ekonomi lain.  Tentu langkah ini harus di dukung institusi lain, termasuk penegak hukum. Jangan sampai pengalaman Susi terulang, sudah lelah-lelah menangkap kapal pencuri ikan kelas kakap, ternyata pelakunya hanya dihukum  ringan.

DEDI HARYADI

Deputi Sekjen Transparansi Internasional Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "Pajak Korporasi Multinasional".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger