Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 02 Mei 2015

Politik Transendensi (TULUS SUDARTO)

Hanya ada dua kemungkinan kalau Los Angeles Times memuat suatu berita dalam kolom internasional utama: soal politik luar negeri Amerika di negara-negara rival atau ada nilai kejutan tertentu yang lumayan spesial tetapi terlewat dari presumsi awal. 

Pastilah alasan kedua yang jadi dasar ketika Indonesia (baca: kepemimpinan Joko Widodo) diulas lebih dari 3/4 halaman di kolom khusus internasional (LA Times, 11/4/2015, halaman A4).  Pemuatan Indonesia di hari Sabtu sudah pasti unik dan pasti bukan alasan ekonomis untuk omzet penjualan. 

Berdasarkan data sensus US Agency for International Development (2010), hanya sekitar 29.000 imigran Indonesia yang berada di kawasan Southern California, tersebar di sejumlah kota, termasuk Los Angeles. Total 101.000 di seluruh AS dan tercatat sebagai imigran Asia terbesar ke-15, sangat kecil kemungkinan imigran Indonesia yang berada di kawasan Los Angeles sekalipun membaca harian LA Times

Karena itu, bisa disimpulkan: kelaikan nilai berita dari kepemimpinan Jokowi memang terbilang mengagetkan dalam perspektif Barat. Dalam nomenklatur Barat, gestur dan tampang Jokowi secara behavioristik tak meyakinkan sebagai pemimpin, apalagi dalam taraf nasional ataupun internasional. AS meragukan Jokowi sejak pelantikannya sebagai presiden (LA Times, 21/10/2014). 

Gaya Jokowi yang klemak-klemek secara teknis memang tidak masuk dalam tipologi kepemimpinan yang kuat. Perihal "keraguan" Jokowi dalam kasus Polri dan KPK yang menjadikan pertaruhan kredibilitas kepemimpinannya dianggap sebagai salah langkah, bahkan dikategorikan  sebagai bentuk  kepemimpinan lembek.  

Perangkap partikular

Secara literal, Jokowi memang terjebak. Sebetulnya tidak hanya Jokowi, setiap pemimpin yang sangat menginginkan perubahan dan pembaruan dalam arti yang otentik, pertama-tama harus berhadapan dengan labirin politik yang tidak saja berkaitan dengan person per person, tetapi sudah membadan secara sistemik dan sistematik.

Realitas keterbadanan (embeddedness) ini brutal dan koruptif. Tak heran jika Jokowi ingin berkantor di Bogor. Tak heran ia dikategorikan sebagai "penumpang gelap". 

 Yang menarik dan jadi unsur kejutan adalah-sebagaimana LA Timesmemberikan kredit tersendiri-atmosfer politik secara gradual mulai mengarah vertikal menuju kepentingan nasional. Keberanian Jokowi untuk tidak didikte oleh kekuasaan partikular mana pun memang merupakan angin segar, sesuatu yang sangat dibutuhkan demi kepentingan kebangsaan, tetapi sudah pasti sesuatu yang paling dibenci oleh para pemegang kartu lama. Tidak ada makan siang gratis dalam kekuasaan. No free lunch.

Pastilah yang disebut kepentingan nasional (dalam arti kebangsaan) ini masih sangat asing bagi para pemangku kekuasaan partikular. Untungnya, secara kebetulan, keterpecahan internal beberapa partai besar menjadi lonceng kematian untuk kepentingan eksklusif, baik pribadi tertentu maupun partai tertentu, mengacu pada politik bagi-bagi kekuasaan yang tidak lagi dapat diprediksi ataupun dibeli.

Secara leksikal, istilah ngglembuk seperti diperagakan Jokowi  memang tak dikenal dalam nomenklatur Barat, baik kultur maupun politik. Itulah alasan Indonesia dipandang absurd dan bukan anomali. Anomali berarti pola tersebut merupakan keutamaan, merujuk pada adagium kunofortiter in re suaviter in modo (tegas dalam prinsip, lembut dalam cara). Absurditas menunjuk pada unsur kejutan.

Visi meritokrasi yang dibawa Jokowi hendak melampaui kepentingan individual ataupun partikular yang notabene dalam sejarah selalu saja menjadi faktor tunggal pengeroposan sistem.

Apa yang kentara lemah dalam sistem Jokowi adalah ketiadaan simbol otoritas yang kuat sehingga tiap pihak bisa secara sistemik-struktural melampaui kepentingan eksklusif mereka untuk benar-benar berjuang demi visi, bukan demi kursi atau nasi. Tidak ada visi apa pun yang kompatibel dalam suatu pertarungan rebutan kursi atau nasi. Otot selalu lebih kuat daripada otak.

Inilah yang jadi dosa asal stagnasi perjalanan kebangsaan Indonesia, sumber-sumbernya, ya, banalitas politik eksklusif partikular. Ketiadaan respek pada otoritas memang pertama-tama harus kultural untuk kemudian masuk sebagai budaya politik.

 TULUS SUDARTO

Rohaniwan; Persiapan Doktoral di Universitas Georgetown, Washington, AS

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "Politik Transendensi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger