Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 21 Mei 2015

TAJUK RENCANA: Tanda Bahaya bagi Baghdad (Kompas)

Jatuhnya Ramadi ke tangan kelompok bersenjata NIIS ibarat dentang lonceng bahaya bagi Pemerintah Irak pimpinan PM Haider al-Abadi.

Ramadi, ibu kota Provinsi Al-Anbar, yang terletak sekitar 110 kilometer sebelah barat ibu kota Irak, Baghdad, jatuh ke tangan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), Selasa (19/5) lalu. Al-Anbar adalah provinsi terbesar di Irak dan berbatasan dengan Jordania, Suriah, dan Arab Saudi. Kota ini jadi pintu masuk dari Barat ke Baghdad, sebelum kota terakhir menjelang Baghdad, yakni Fallujah.

Karena itu, kejatuhan Ramadi bisa dibaca sebagai pukulan serius terhadap Pemerintah Irak pimpinan PM Abadi, seorang politisi moderat yang dinilai bisa lebih berkompromi dibandingkan pendahulunya, Nouri al-Maliki. Kejatuhan Ramadi juga bisa berarti kemunduran usaha pasukan pimpinan Amerika Serikat untuk "mendegradasi dan menghancurkan" kelompok bersenjata NIIS. Inilah pukulan bagi strategi anti-NIIS yang dikembangan AS untuk membantu pemerintah Baghdad.

Sebaliknya, kejatuhan Ramadi merupakan keberhasilan besar bagi NIIS dalam gerak mereka menuju Baghdad, meskipun NIIS telah kehilangan Tikrit, kota di sebelah utara Baghdad. Setelah tidak mampu mempertahankan Tikrit, NIIS berusaha mendekati atau bahkan masuk Baghdad lewat barat, yakni Ramadi, dan hal itu berhasil.

Setelah berhasil merebut dan menguasai Ramadi, kota yang mayoritas penduduknya Sunni, bukan tidak mungkin kelompok NIIS akan bergerak dari arah selatan dan timur untuk masuk ke Baghdad. Ini merupakan langkah pengepungan yang dikembangan kelompok NIIS dalam usaha merebut dan menguasai Baghdad, yang berarti dalam usaha meruntuhkan pemerintah Baghdad dan membangun pemerintah baru di bawah bendera NIIS.

Menghadapi kenyataan seperti itu, tidak ada jalan lain bagi PM Abadi untuk merapatkan barisan, untuk membuang perasaan dan sentimen sektarian, kalau ingin mempertahankan pemerintah Baghdad. Keberhasilan mengusir NIIS dari Tikrit—dengan menggabungkan antara pasukan pemerintah, milisi Sunni dan Syiah, serta para kepala suku—menjadi pilihan yang tidak bisa tidak harus diambil. Langkah itulah yang kini tengah dipersiapkan untuk dilakukan.

Namun, pengalaman pahit di Tikrit tidak boleh diulangi, yakni, menurut berita, penjarahan yang dilakukan milisi Syiah setelah berhasil memukul mundur kelompok bersenjata NIIS. Karena hal itu, pertama, akan menimbulkan antipati kelompok Sunni terhadap Syiah; dan kedua, bisa-bisa menjadi pemicu pecahnya konflik sektarian di saat negara membutuhkan persatuan dan kesatuan menghadapi kelompok NIIS.

Satu hal yang tidak bisa dilupakan, Irak tetap membutuhkan bantuan luar untuk memerangi kekuatan NIIS.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Mei 2015, di halaman 6 dengan judul "Tanda Bahaya bagi Baghdad".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger