Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 01 Juni 2015

JAJAK PENDAPAT "KOMPAS": Membumikan Gagasan Ideal Pancasila

Usaha membumikan Pancasila secara sungguh-sungguh tampaknya masih jauh panggang dari api. Penerimaan ideologi yang masif di tingkat pengetahuan tidak diikuti dengan usaha yang konkret di level tindakan. Ditengarai, persoalan lemahnya implementasi Pancasila ini banyak bertumpuk di level elite.

Perilaku tidak disiplin, juga praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), menjadi hambatan terbesar yang diperkirakan publik bakal menjadi ancaman bagi keberadaan ideologi Pancasila. Publik menilai sikap koruptif dua kali lipat lebih berbahaya ketimbang cenderung menguatnya fanatisme agama dan kelompok yang belakangan juga cukup menonjol. Sementara ancaman yang muncul dari konsumerisme, hedonisme, dan bebas-liberalis dinilai menjadi ancaman berikut yang akan menggerogoti nilai Pancasila.

Sebagian besar publik jajak pendapat menilai keadilan hukum dan ekonomi memburuk. Usaha Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemberantasan korupsi malah bertubi-tubi diterpa gelombang perlawanan. Dalam kasus terbaru, KPK kalah dalam tiga kasus praperadilan. Diawali hakim Sarpin Rizaldi yang memenangkan praperadilan Komisaris Jenderal Budi Gunawan (16 Februari 2015), disusul praperadilan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin (12 Mei 2015) dan terakhir praperadilan mantan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo (26 Mei 2015).

Terlepas dari situasi kepemimpinan KPK era Abraham Samad dan berbagai kelemahan KPK, lembaga ini masih dipandang sebagai barometer penegakan hukum yang jitu mengungkap kasus korupsi. Dengan masih gonjang-ganjingnya kondisi KPK, tak heran separuh publik jajak pendapat, minggu lalu, menilai kondisi keadilan hukum semakin buruk saat ini. Mayoritas juga memandang pemerintah masih tebang pilih dalam penegakan hukum.

Ancaman berikutnya terhadap Pancasila dinilai datang dari sikap menguatnya kontestasi simbol identitas terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Implementasi nilai-nilai Pancasila ditabrak. Akibatnya, perilaku berkebalikan dengan Pancasila justru sering terjadi. Terkait sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, justru ditabrak dengan adanya pembiaran terhadap tindakan yang mengancam keberadaan kelompok minoritas. Data Komnas HAM menyebutkan, peningkatan aduan masyarakat soal pelanggaran kebebasan beragama dua kali lipat lebih banyak. Pada 2013, jumlah aduan 30 berkas dan pada 2014 naik menjadi 67 berkas.

content

Demikian pula di bidang ekonomi. Jurang kesenjangan ekonomi antara yang miskin dan kaya terus melebar. Ini ditunjukkan dengan data indeks gini 2013 yang sebesar 0,413. Indeks gini atau koefisien gini adalah salah satu ukuran umum untuk distribusi pendapatan atau kekayaan yang menunjukkan seberapa merata pendapatan dan kekayaan didistribusikan di antara populasi.

Angka setinggi ini belum pernah terjadi sejak Indonesia berdiri. Arus globalisasi dan liberalisasi, seperti kapitalisasi sumber daya alam, komunikasi, pendidikan, dan kesehatan, sudah telanjur merasuk di seluruh sendi kehidupan bernegara. Hasilnya, sebagian besar responden merasakan bahwa keadilan ekonomi memburuk (61 persen).

Selain ancaman yang makin beragam, di sisi lain ingatan publik tentang Pancasila sebenarnya relatif membaik. Lebih dari separuh responden ingat dan mampu menyebut secara benar lima sila dalam Pancasila, relatif meningkat dari proporsi tahun-tahun sebelumnya. Tak hanya penyebutan, bahkan dalam konteks penerimaan secara formal, nyaris semua responden (93 persen) menyatakan menerima Pancasila sebagai sebuah gagasan dasar negara. Kondisi penerimaan terhadap Pancasila, berlandaskan jajak pendapat, relatif stabil selama dekade ini.

Jika pengetahuan dan penerimaan Pancasila semakin baik, mengapa justru sikap tidak Pancasilais dinilai makin marak dan menjadi ancaman?

Sikap elite

Publik saat ini melihat pengamalan Pancasila adalah persoalan perspektif elite penyelenggara negara. Sistem penyelenggaraan hukum, ekonomi, dan sosial yang tak Pancasilais menjadi acuan utama publik dalam menilai konsistensi antara gagasan ideologi negara dan interpretasinya di tingkat masyarakat bawah. Semakin jauh jarak gagasan ideal Pancasila dan realisasi di tataran perilaku, makin buruk penilaian publik.

Penilaian tersebut juga terjadi dalam konteks nilai sosial yang melingkupi individu dan kelompok masyarakat itu sendiri, sesuai dengan berbagai identitas sosial yang mereka pegang. Misalnya, soal kebijakan pusat atau daerah yang dinilai bersifat diskriminatif dan melanggar kebebasan beragama, bahkan hak asasi manusia. Qanun jinayat, hukuman mati, dan soal pembangunan rumah ibadah adalah contoh paling nyata sistem nilai berdasarkan Pancasila kini semakin "diuji" oleh publik yang makin agamis sekaligus makin terbuka terhadap informasi.

Jawaban publik terhadap kondisi pelaksanaan toleransi di masyarakat pun cenderung ambigu. Meski separuh lebih responden menyebut toleransi kini semakin baik, proporsi yang menilai semakin buruk juga cukup besar, berkisar 26 persen. Selain itu, hampir separuh publik jajak pendapat menilai penempatan persatuan di atas kepentingan golongan terus memburuk.

Ini termasuk "lampu kuning" karena berarti ada kegelisahan terkait adanya tegangan di masyarakat dalam nilai-nilai dasar yang menjadi acuannya.

Celakanya, banyaknya persoalan itu tidak membuat wakil rakyat merasa perlu memprioritaskan persoalan-persoalan semacam ini, yang diam-diam menggoyahkan sendi kebersamaan kehidupan berbangsa. Seperti dalam berbagai kasus di DPR belakangan ini, para wakil rakyat masih lebih sibuk bermain "politik pasca pemilu" di seputar perebutan sumber-sumber daya ekonomi dan lingkar kekuasaan.

Sikap elite juga mudah dikontraskan dengan sikap masyarakat bawah yang cenderung lebih "Pancasilais". Dalam isu pengungsi Rohingya dari Myanmar, misalnya, simpati spontan ditunjukkan warga Aceh untuk menyelamatkan nasib para pengungsi yang terkatung-katung berbulan-bulan di laut di tengah sikap elite yang berubah-ubah atas isu tersebut.

Tengoklah perspektif relawan di dapur umum yang melayani para pengungsi itu di Bayeun, Kabupaten Aceh Timur. "Bagaimanapun kita sama-sama manusia. Saya tidak tega saat melihat mereka terombang-ambing di laut. Dulu, banyak orang membantu kami saat ada tsunami, sekarang ini cara kami membalasnya" (Kompas, 27/5).

Penempatan Pancasila

Secara institusional, KPK dan TNI dipandang lebih kuat dalam pelaksanaan Pancasila daripada DPR, partai politik, kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan kabinet pemerintahan. Publik menilai positif kinerja TNI akhir-akhir ini dalam menjaga perairan Indonesia dari rongrongan kapal asing yang mencuri kekayaan laut Indonesia. Sementara KPK masih dipandang sebagai lembaga paling kredibel dalam pemberantasan korupsi.

Keberhasilan menempatkan kembali Pancasila sangat bergantung pada keteladanan para elite politik dalam menegakkan nilai-nilai anti korupsi, pro kemajemukan masyarakat, dan keteladanan perilaku. Ini sama artinya dengan lahirnya jiwa negarawan yang memahami tanda zaman membawa bangsa melewati masa-masa sulit.

Untuk menjembatani antara gagasan dan kenyataan dalam perilaku tersebut, lagi-lagi elite penyelenggara negara harus melakukan aksi-aksi yang menggambarkan pengamalan nilai Pancasila sebagaimana yang diperjuangkan para pendiri bangsa. Dengan demikian, masyarakat akan menjadi bagian dari arus utama keteladanan tersebut.

(YULIANA RINI DY/TOTO SURYANINGTYAS/LITBANG KOMPAS)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Juni 2015, di halaman 5 dengan judul "Membumikan Gagasan Ideal Pancasila".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger