Inikah potret sesungguhnya kepedulian pemerintah pada bidang kebudayaan? Jika persyaratan itu dibuat lebih karena untuk mengusung profesionalitas dan kompetensi, misalnya, mengapa untuk jabatan-jabatan lain yang setara di lingkungan Kemdikbud tidak sekalian diberlakukan sama? Boleh jadi pada akhirnya yang terjaring nanti tetap lulusan S-3, tetapi niat awalnya memperlihatkan kementerian ini begitu merendahkan bidang kebudayaan.
Jabatan eselon 1A untuk Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Staf Ahli Bidang Inovasi dan Daya Saing, Staf Ahli Bidang Pembangunan Karakter mensyaratkan kualifikasi pendidikan doktor (S-3). Bahkan, posisi untuk Staf Ahli Bidang Hubungan Pusat dan Daerah yang masuk kategori kelompok eselon 1B juga mensyaratkan kualifikasi lulusan S-3. Hanya khusus untuk jabatan Staf Ahli bidang Regulasi dan Pendidikan dan Kebudayaan kualifikasi pendidikan yang diminta adalah lulusan S-2. Itu pun ada tambahan persyaratan yakni harus dari bidang hukum. Lalu, mengapa untuk jabatan Dirjen Kebudayaan yang masuk kategori eselon 1A cukup lulusan strata satu?
Selain syarat ini masih ada persyaratan lain yang diminta yang berkaitan dengan pengalaman di bidang terkait, yakni kemampuan melakukan kajian di bidangnya; kemampuan berbahasa Inggris tulis dan lisan; serta memiliki jejaring. Bahkan untuk jabatan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa masih ditambah lagi dengan persyaratan memiliki pengalaman dalam pengelolaan pendidikan/pembinaan/pengembangan kebahasaan.
Uniknya, justru untuk jabatan Dirjen Kebudayaan, persyaratan yang diminta amat minimal dibandingkan jabatan tinggi madya lain yang dilelang, misalnya tidak ada persyaratan kemampuan melakukan kajian di bidangnya dalam lelang jabatan Dirjen Kebudayaan. Ini dapat menimbulkan tanda tanya: mungkinkah ada nama tertentu yang sudah diproyeksikan duduk di sana, yang akan terganjal jika persyaratan ditentukan sama?
Melukai dan merendahkan
Ketetapan di atas memperlihatkan betapa bidang kebudayaan dianggap dapat dikerjakan oleh siapa saja, tanpa kualifikasi khusus, bahkan S-1 dari program studi yang terakreditasi B pun boleh mencalonkan diri. Meski mungkin tak ada yang mencalonkan diri dengan kualifikasi ini, penetapan ini sungguh melukai para pemikir, ahli, pelaku, dan semua yang berkaitan dengan bidang kebudayaan. Apalagi dengan pencantuman minimal akreditasi B.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan kebudayaan atau apa sebenarnya yang dipikirkan Kemdikbud tentang ranah ini sehingga persyaratan untuk menjadi pejabat tertingginya pun paling minimal dan bahkan terkesan merendahkan? Sebegitu sepelekah bidang ini sehingga siapa saja dianggap mampu mengelolanya?
Bagaimana seseorang yang tak disyaratkan memiliki kemampuan melakukan kajian di bidangnya (sementara kelima jabatan lain menetapkan persyaratan ini) dapat menangani atau mengelola/memimpin para direktur dan stafnya dalam bidang seni, warisan budaya bendawi (termasuk cagar budaya dan lainnya), warisan budaya tak bendawi, diplomasi budaya, tradisi, internalisasi budaya, sejarah, arkeologi, religi, adat, komunitas, dan lain-lain terkait. Bahkan, saat ini pembinaan dan pengembangan SDM kebudayaan pun dimasukkan di dalam direktorat yang menangani semua hal tersebut, sementara pengembangan (termasuk di dalamnya penyiapan dan peningkatan) SDM guru dan tenaga kependidikan naik menjadi satu direktorat jenderal?
Tulisan ini tidak bermaksud menguraikan secara rinci hal-hal yang lebih jauh mengenai kebudayaan dan ranah luas cakupan serta urgensinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tulisan juga tidak juga dimaksudkan untuk menjelaskan betapa signifikannya saat ini peran dan fungsi kebudayaan dalam membangun peradaban dunia dan membawa "Indonesia" memiliki marwah dan keunggulan kompetitif di taraf internasional sekaligus memperluas lapangan kerja khusus untuk peningkatan kesejahteraan.
Tulisan ini hanya untuk mempertanyakan: apakah kebudayaan diterima dengan sepenuh hati di Kemdikbud atau terpaksa diterima karena sudah dicantumkan namanya dalam kementerian ini? Apakah juga kebudayaan adalah sesuatu yang dapat dikerjakan siapa saja? Jika demikian tentu tidak perlu ada perguruan tinggi/institusi/lembaga seni dan budaya seperti fakultas sastra, fakultas ilmu budaya, institut seni Indonesia, dan sejenisnya. Di banyak sekolah juga masih banyak guru seni atau hal lain terkait kebudayaan bukan berasal dari perguruan tinggi/lembaga yang relevan. Bukankah pendidikan adalah justru bagian dari kebudayaan, yang semestinya kedua ranah ini mendapat perlakuan sama dan seimbang.
Hanya ada satu Dirjen Kebudayaan di Kemdikbud, sedangkan di kementerian terdahulu kebudayaan diurusi dua dirjen. Penting segera menciptakan sistem pengelolaan kebudayaan yang terencana, terintegrasi, dan terkoordinasi. Juga menguatkan peran segenap pemangku kebudayaan untuk dapat berperan dalam menyiapkan generasi muda yang mampu menjadikan sumber daya kebudayaan untuk pembentukan keindonesiaan yang bermartabat dan mampu mengembangkan sumber daya kebudayaan secara berkelanjutan.
PUDENTIA MPSSDOSEN FIB-UI DAN KETUA ASOSIASI TRADISI LISAN
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Juni 2015, di halaman 7 dengan judul "Kebudayaan, Masihkah "Dianggap" di Negeri Ini?".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar