Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 01 Juni 2015

TAJUK RENCANA: Waisak dan Mewahnya Kejujuran (Kompas)

Aktualitas perayaan keagamaan, Waisak 2015/2559, menawarkan kejujuran. Kejujuran sebagai sikap moral perkataan belakangan jadi barang mewah.

Kejujuran bertabrakan langsung dengan kepentingan praktis-pragmatis. Kejujuran berubah jadi gincu bibir dan pemoles wajah. Demi kepentingan praktis-pragmatis, jual beli gelar sarjana marak. Demi popularitas atau dalam konteks pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, satu per satu keputusannya dibatalkan lewat praperadilan.

Menyebut dua contoh di atas—untuk yang kedua perlu penjelasan lebih rumit tidak begitu saja—tidak berarti menafikan ketidakjujuran lainnya. Selain aktual dan menjadi keprihatinan kita, keduanya menonjol sebagai antitesis spirit kejujuran. Kejujuran dikesampingkan demi merebut kemenangan, dengan cara menerabas dan mengabaikan proses yang seharusnya dilewati.

Dalam bingkai cara keberagamaan, ketidakjujuran bertabrakan dengan hati nurani bersih. Dan ketika ketidakjujuran menjadi bagian yang menyatu sebagai hati kecil yang tumpul nurani, mewujud dalam sikap, perkataan dan perbuatan, kejujuran makin jadi kemuliaan yang mewah.

Tiga peristiwa suci dalam Waisak, terjadi pada satu hari purnama sidi—kelahiran 623 SM, pencerahan sempurna 588 SM, dan wafat Buddha Gautama 543 SM—tidak selesai dengan peringatan, tetapi hendaknya menjadi memoria yang hidup. Kemuliaan Buddha dengan ajarannya yang akrab dengan anti-kekerasan dan serba damai semakin relevan dengan kehidupan aktual kita.

Mewahnya kejujuran memperoleh momentum. Kejujuran ditegaskan dalam ajaran semua agama, termasuk Buddhisme. Kejujuran mengandaikan apa yang dikatakan dan dilakukan sebagai cermin hati. Dengan kejujuran terbebas nafsu serba praktis-pragmatis demi tercapainya tujuan. Selembar ijazah diperoleh lewat prosedur akademik yang benar, keputusan membatalkan keputusan pengadilan perlu dilandaskan pada komitmen pemberantasan korupsi.

Dalam masyarakat permisif, praktis-pragmatis sekarang, kejujuran berarti arus balik. Membeli ijazah, tanpa ada rasa bersalah dari penjual dan pemiliknya, menjadi arus umum. Dianggap biasa membatalkan praperadilan hanya dari sisi keadilan prosedural dan mengesampingkan rasa perasaan keadilan.

Kembali pada komitmen bersama, yakni, pertama, mengembalikan kejujuran akademik dalam kasus jual beli ijazah dan "pabrik skripsi" sebagai marwah dunia ilmu. Kedua, ketukkan terus niat baik memberantas korupsi sebagai panduan dalam memutus perkara yang terkait, dengan tetap dalam koridor menemukan keadilan yang sebenar-benarnya dan bukan keadilan prosedural.

Hari raya Waisak niscaya menjadi spirit semangat kita mengetuk terus tentang kejujuran sebagai sumber hakiki ketidakberesan, satu sisi senapas dengan revolusi mental.

Selamat Hari Raya Waisak 2015/2559 bagi yang merayakan!

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Juni 2015, di halaman 6 dengan judul "Waisak dan Mewahnya Kejujuran".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger