Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 06 Juli 2015

TAJUK RENCANA: Koreksi atas Peraturan (Kompas)

Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Tenaga Kerja untuk merevisi Peraturan Pemerintah No 46/2015 tentang Pelaksanaan Jaminan Hari Tua.

PP itu baru ditandatangani Presiden Jokowi pada 30 Juni 2015. Instruksi itu disampaikan Presiden tiga hari setelah PP itu ditandatangani. Revisi PP dilakukan Presiden menyusul protes dari kalangan pekerja terhadap substansi dari PP tersebut. Protes itu disampaikan melalui petisi yang sangat mudah dilakukan dalam demokrasi digital.

Salah satu substansi PP yang direvisi ialah soal pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja atau berhenti bekerja tidak perlu menunggu kepesertaan sepuluh tahun. Dengan revisi aturan itu, menurut Menteri Tenaga Kerja Hanif Dakiri seperti dikutip harian ini, Jumat, kalau menjadi peserta JHT lalu berhenti bekerja, satu bulan setelah berhenti bekerja, pekerja bisa mengklaim JHT.

Putusan Presiden Jokowi untuk merevisi PP No 46/2015 memang telah mengakomodasi aspirasi dari serikat pekerja. Dalam era demokrasi digital, penyampaian pendapat umum bisa dilakukan melalui petisi. Melalui laman Change.org sudah muncul petisi yang ditandatangani 104.481 orang yang meminta pembatalan pencairan dana JHT setelah sepuluh tahun. Petisi itu dibuat Galang Mahardika pada 1 Juli 2015 dan hingga 5 Juli 2015 pukul 16.30 sudah di angka 104.481 orang.

Kita mengapresiasi langkah Presiden Jokowi mengakomodasi suara petisi dari para pekerja. Langkah merevisi PP yang baru tiga hari dibuatnya boleh jadi memang merupakan wujud dari pandangan Presiden bahwa demokrasi adalah mendengarkan dan melaksanakan kehendak rakyat. Namun, tetaplah lebih baik jika langkah mendengarkan suara rakyat itu dilakukan sebelum sebuah aturan diterbitkan atau ditandatangani. Kita pun menyayangkan PP No 46/2015 ditandatangani begitu mepet dengan batas akhir dan tanpa banyak melibatkan konsultasi publik. Langkah Presiden Jokowi merevisi aturan setelah muncul protes juga pernah dilakukan saat Presiden menandatangani penambahan uang muka pembelian mobil pejabat. Setelah muncul protes, Presiden merevisi aturan itu.

Mengakomodasi kepentingan rakyat adalah sesuatu yang positif. Namun, langkah akomodasi dan mendengarkan suara rakyat itu hendaknya dilakukan sebelum aturan itu ditandatangani. Pihak Sekretariat Negara dan pihak kementerian terkait harus betul-betul memastikan bahwa substansi dalam aturan itu sudah mendengarkan suara rakyat. Kian banyak aturan yang direvisi sebelum dilaksanakan bisa berdampak kurang baik pada citra Presiden. Para pembantu presiden harus betul-betul mempunyai perancang produk hukum (legal drafter) yang memahami bagaimana membuat produk hukum di era demokrasi konstitusional dibuat dan mengacu pada hierarki perundang-undangan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Juli 2015, di halaman 6 dengan judul "Koreksi atas Peraturan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger