Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 01 Agustus 2015

TAJUK RENCANA: Jangan Rugikan Daerah (Kompas)

Tahapan menuju pemilihan umum kepala daerah serentak, 9 Desember 2015, masih terkendala di sejumlah daerah. Ini bisa mengancam demokrasi.

Menurut catatan harian ini, dari 269 daerah yang akan menggelar pilkada, terdapat 13 daerah yang hanya mempunyai satu pasang bakal calon. Bahkan, di Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara, belum ada pasangan bakal calon yang mendaftarkan diri. Dengan jumlah kurang dari dua pasang calon, pilkada serentak di daerah tersebut tak bisa dijalankan. Apalagi jika tidak ada satu pun pasangan bakal calon yang mendaftar.

Sebanyak 13 daerah yang baru mempunyai satu pasang bakal calon itu termasuk Kota Surabaya, Kabupaten Pacitan, dan Kabupaten Blitar. Peraturan KPU menyatakan, jika baru ada satu pasang bakal calon yang mendaftar, KPU akan memperpanjang masa pendaftaran tiga hari dari tanggal 1 Agustus hingga 3 Agustus 2015. Jika sampai 3 Agustus pilkada tetap diikuti satu pasangan calon, pilkada akan ditunda sampai 2017.

Kuatnya petahana disebut-sebut sebagai alasan sejumlah partai politik untuk tidak mengajukan calon. Alasannya sangat transaksional. Kuatnya petahana dibaca berdasarkan popularitas lembaga survei pada saat survei dilakukan. Padahal, hasil survei bisa berubah pada saat pemilihan. Terhambatnya pelaksanaan pilkada hanya karena baru satu pasangan bakal calon yang mendaftar bisa disebut menyandera demokrasi dan menyabot hak rakyat untuk memilih pemimpin. Apalagi jika partai politik itu punya hak untuk mencalonkan, tetapi tidak menggunakan hak untuk mencalonkan kadernya. Menyandera demokrasi sama saja dengan merugikan daerah itu sendiri.

Jika pilkada di sejumlah daerah terpaksa ditunda karena hanya diikuti satu pasangan calon atau malah tidak ada calon yang mau mendaftar, akan ditunjuk pelaksana tugas pemimpin daerah. Masyarakat dan elite partai politik harus melihat kewenangan seorang pelaksana tugas yang diberikan undang-undang lebih sempit daripada kewenangan seorang pemimpin daerah definitif. Situasi ini jelas akan merugikan daerah dan rakyat di daerah itu sendiri. Seorang pelaksana tugas pemimpin daerah tentu tidak bisa mengambil langkah dan kebijakan strategis.

Kehadiran pemimpin yang kuat, yang dicintai rakyat karena program pembangunannya yang nyata dirasakan rakyat, tidak boleh dikorbankan oleh kelemahan prosedur demokrasi. Perlu ada langkah konstitusional dari pembayar pajak untuk memintakan tafsir konstitusional dari Mahkamah Konstitusi soal masalah tersebut. Bukankah pilkada yang tidak bisa berlangsung serentak karena masalah prosedur politik akan merugikan hak konstitusional rakyat? Jalan keluar konstitusional harus dicari untuk menyelamatkan suara rakyat sambil terus memperbaiki Undang-Undang Pilkada pada masa mendatang, termasuk mempermudah persyaratan bagi calon perseorangan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "Jangan Rugikan Daerah".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger