Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 23 September 2015

DPR yang Terhormat//Kebun Sawit dan Kebakaran Hutan (Surat Pembaca Kompas)

DPR yang Terhormat

Saya tidak peduli berapa jumlah anggaran baru yang Anda ajukan, toh yang menyetujui pemerintah, bukan kami rakyat kecil. Kalaupun tidak setuju, kami juga tidak bisa apa-apa. Akan tetapi, saya ingin mengajak para anggota DPR yang terhormat untuk melihat kenyataan di bawah ini.

Di rapat paripurna DPR masih banyak kursi kosong (lihat foto di Kompas, 17/9). Kalau tidak salah tahun 2012 metode absen sudah diganti dengan sistem sidik jari agar anggota lebih disiplin. Kenyataannya, ada media yang memberitakan perangkat absen elektronik di DPR sia-sia. Kalaupun hadir, banyak anggota yang tidur di ruang sidang.

Namun, hanya untuk tidur, anggota DPR masih minta anggaran negara Rp 12,5 miliar. Mengapa tidak membeli kasur dari gaji dan tunjangan yang besar. Jadi, setelah tidak jadi anggota, kasur bisa jadi milik sendiri?

Sepertinya DPR tidak peduli dengan kenaikan harga di hampir semua kebutuhan pokok: listrik, gas, air bersih, beras, daging, dan lain lain. Coba bandingkan harga-harga itu dengan anggota ASEAN, di urutan berapa kita?

Tengoklah pula penderitaan siswa-siswi sekolah—bahkan hanya berjarak 185 km dari gedung DPR—yang masih bersekolah di tempat yang tidak layak. Di sekolah yang berjarak 120 km dari gedung DPR, murid-murid masih belajar di lantai. Teganya para anggota DPR yang terhormat meminta gedung baru yang mewah dan mahal.

Kalau benar DPR peduli, bantu dan perbaikilah sekolah, jembatan, angkutan, sarana ibadah, dan kebutuhan publik lainnya. Saatnya berbela rasa pada penderitaan rakyat.

YUS PRIYADI, KOMPLEKS PELNI, DEPOK, 16418


Kebun Sawit dan Kebakaran Hutan

Mewakili insan kelapa sawit Indonesia (petani, pekerja, dan pengusaha) yang berjumlah lebih dari 5 juta jiwa, kami menyampaikan keberatan atas karikatur Oom Pasikom (Kompas, 12/9).

Karikatur itu bertema kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan, yang sangat melukai perasaan insan yang bekerja dalam mata rantai industri kelapa sawit nasional. Karikatur menggambarkan Buto Geni (raksasa berambut api) memakai dasi bergambar pohon kelapa sawit, dengan tulisan "Pak, ada buto rambut geni dan Togog ikut mbakar hutan lho".

Berikut adalah pernyataan sikap Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) tentang kebakaran yang terjadi saat ini.

Kami telah melakukan segala upaya untuk membantu pemerintah dalam mengatasi krisis ini. Dalam kebakaran lahan, perkebunan kelapa sawit, baik milik perusahaan maupun masyarakat, adalah korban. Ini adalah ekses dari luasnya kebakaran di luar konsesi perusahaan.

Data dari GFW (Global Forest Watch) menunjukkan, kebakaran di konsesi perusahaan kelapa sawit hanya 4 persen, sedangkan dari areal kosong atau yang tidak dibebani izin 54 persen.

Lahan perkebunan, bagi petani ataupun pelaku usaha kelapa sawit, adalah aset. Jika aset tersebut terbakar, baik petani maupun pelaku usaha justru menderita kerugian yang besar.

Kami menyambut baik instruksi Presiden Joko Widodo agar aparat menyelidiki penyebab kebakaran. Dari proses hukum tersebut, ditetapkan 76 tersangka warga masyarakat dan 1 tersangka yang diduga dari pihak korporasi. Saat ini ada lebih dari 3.000 perusahaan perkebunan kelapa sawit, baik swasta maupun BUMN.

Kami mendukung penegakan hukum terhadap perusahaan jika memang terbukti sengaja membakar lahan. Namun, penegakan hukum juga harus setara terhadap semua pihak karena kebakaran tidak hanya terjadi di areal konsesi perusahaan dan lahan masyarakat. Bagaimana dengan kebakaran di area konservasi seperti Taman Nasional Sebangau, Gunung Lumu, dan Gunung Sumbing? Siapakah yang bertanggung jawab?

Mencegah kebakaran ke depan, pemerintah dan DPR perlu merivisi UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada Pasal 69 Ayat 2 UU tersebut jelas dinyatakan, pembakaran lahan diperbolehkan dengan luasan maksimal 2 hektar.

Selain itu, ada pula peraturan pemerintah dan peraturan gubernur yang juga memungkinkan masyarakat membuka lahan dengan pembakaran, cukup dengan izin kepala desa jika luasannya 1-5 hektar, atau izin camat untuk luas di atas 5 hektar.

Kebakaran hutan dan lahan gambut sudah berlangsung puluhan tahun, bahkan sebelum perkebunan kelapa sawit berkembang. Jadi, kebakaran hutan dan lahan gambut tidak ada kaitannya dengan perkebunan kelapa sawit sebagaimana digambarkan karikatur Oom Pasikom.

JOKO SUPRIYONO, KETUA UMUM GAPKI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 September 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger