Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 04 September 2015

Surat untuk Anies Baswedan//Pejalan Kaki Tidak Aman//Lumpur Lapindo//Telkom 147 Ruwet (Kompas)

Surat untuk Anies Baswedan

Saya mengutip halaman depan Kompas, Senin, 31 Agustus lalu: "Tekanan terhadap PM Najib Menguat". "Namun, pendidikan turun kualitasnya. Anak-anak sekolah tak lagi wajib berbahasa Inggris. Bagaimana bisa bersaing," ujar Khaty (45), ibu rumah tangga asal Kuala Lumpur.

Dengan kutipan di atas, saya ingin menyapa dan bertanya kepada Menteri Pendidikan kita, Anies Baswedan.

Sudahkah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sadar bahwa bahasa Inggris bukanlah milik Inggris semata, melainkan menjadi milik bangsa Indonesia juga, milik antarbangsa, dan menjadi bahasa pemersatu dunia?

Sudahkah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sadar bahwa penguasaan bahasa Inggris adalah salah satu penentu keberhasilan anak Indonesia dalam persaingan yang bersifat internasional?

Sudahkah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sadar bahwa selama ini hanya anak-anak orang kaya Indonesia yang pandai menguasai bahasa Inggris karena bisa membayar mahal lembaga-lembaga kursus bahasa Inggris?

Sudahkah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sadar bahwa selama ini kebijakan yang diambil salah sehingga membuat tumbuh subur lembaga kursus bahasa Inggris di Indonesia?

Demikian pertanyaan saya. Semoga kebijaksanaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan dapat menjawab pertanyaan "bagaimana bisa bersaing" di atas.

DJOKO MADURIANTO SUNARTO, GEDONGKIWO MJI/1015A, MANTRIJERON, YOGYAKARTA


Pejalan Kaki Tidak Aman

Saya berkantor di Jalan Palmerah Barat, Jakarta, dan tinggal di Kebayoran Lama. Kadang-kadang saya berjalan kaki pulang dari kantor ke rumah. Namun, berjalan kaki di sepanjang jalan itu membahayakan jiwa saya karena ada beberapa meter jalan tanpa trotoar.

Trotoar digunakan untuk berjualan dan tempat parkir. Apakah izin mendirikan bangunan perkantoran tak mensyaratkan pembuatan tempat parkir? Apakah berjualan di trotoar diizinkan? Apakah keselamatan pejalan kaki tidak menjadi perhatian pemerintah?

WEDHA STRATESTI YUDHA, JALAN ASOFA, SUKABUMI UTARA, KEBON JERUK, JAKARTA BARAT


Lumpur Lapindo

Jebolnya tanggul terus mengancam penduduk sekitar Sidoarjo. Sembilan tahun lumpur itu telah menyiksa. Empat lapis bangunan tanggul selalu jebol. Terakhir APBN menalangi Rp 781 miliar, Lapindo kehabisan dana.

Diperkirakan sekitar 100.000 meter kubik lumpur tersembur setiap hari. Pada 2009, sejumlah organisasi nonpemerintah ingin menutup kawasan itu, tetapi tidak diizinkan pemerintah. Masyarakat pun berusaha memanfaatkan lumpur. Salah satu caranya adalah mengubah lumpur menjadi bata, tetapi belum berhasil. Karakter lumpur yang mudah hancur oleh air ketika dijadikan bata menjadi kendala teknis usaha ini.

Kami sebuah tim teknopreneur dari Bandung (bersama Bapak Roch Basoeki M sebagai narasumber yang menggeluti persoalan lumpur ini sejak 2007) telah menemukan formula untuk mengolah lumpur menjadi batu bata sekuat batu candi.

Laboratorium ITB mengonfirmasi temuan ini. Tim ini juga sudah memiliki perencanaan yang sanggup mengurangi lumpur sebanyak 100.000 meter kubik untuk dijadikan batu bata komersial 1.250.000 buah per hari sehingga diharapkan tanggul yang diperkuat itu tak akan jebol lagi dan penduduk pun aman.

Proposal penanggulangan lumpur telah kami sampaikan kepada pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, menteri, sampai kepada menko, tetapi belum ada tanggapan. Meskipun begitu, masih besar harapan kami menolong masyarakat Sidoarjo.

Kami yang bukan pengusaha ini bertanya, "Adakah cara lain menolong mereka?"

IGNATIUS YUDKI UTAMA, JALAN MAWAR, BINTARO, PESANGGRAHAN, JAKARTA SELATAN


Telkom 147 Ruwet

Berawal pada Juni 2015, saya ingin berhenti berlangganan Speedy. Saya menelepon 147 dengan nomor pelaporan 2015 05 LT 300989. Pada Juli, saya bayar tagihan telepon saja (tagihan Speedy telah dihapus).

Namun, pada pertengahan Agustus, saya ditelepon 147. Ternyata Speedy tertagih lagi. Saya menelepon 147 dengan nomor pelaporan 20 15s.0820.04599.

Mereka mengakui kesalahan ada pada pihak mereka, tetapi Telkom tak kunjung menghubungi saya. Saat ini, 147 tak dapat saya hubungi karena telepon saya diputus.

ROCKI DWI KURNIAWAN, JL BUKIT MULIA 10B, SEMARANG

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 September 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger