Keputusan MK itu merupakan respons atas permintaan uji materi UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Permintaan uji materi terhadap Pasal 245 Ayat (1) UU No 17/2014 sebenarnya didasarkan pada prinsip kesamaan di muka hukum. Pemohon mempersoalkan mengapa pemeriksaan anggota DPR yang disangka melakukan tindak pidana harus mendapat izin tertulis dari MKD?
Dalam Pasal 245 Ayat (1) UU No 17/2014 disebutkan, penegak hukum harus meminta izin MKD jika akan memeriksa anggota DPR yang tersangkut pidana. MK memutuskan frase "mendapat persetujuan tertulis dari MKD" tidak konstitusional. Namun, MK bukan membatalkan kewenangan MKD, melainkan mengalihkan kepada Presiden. MK bahkan menambahkan norma baru. Pemeriksaan terhadap anggota DPRD provinsi atas sangkaan melakukan pidana harus mendapat persetujuan Menteri Dalam Negeri, sedangkan bagi anggota DPRD kabupaten/ kota harus mendapat persetujuan Gubernur.
Dengan putusan terbarunya ini, MK menunjukkan lagi inkonsistensi dalam politik hukum konstitusional. Pada 26 September 2012, MK membatalkan ketentuan dalam UU Pemerintah Daerah yang mengharuskan pemeriksaan kepala daerah mendapat izin Presiden. Tak perlu izin. Kini, izin itu dihidupkan kembali.
Putusan MK memicu pro dan kontra. Pihak pendukung punya persepsi bahwa anggota DPR adalah wakil rakyat yang harkat martabatnya harus dihormati meskipun dalam praktik ada anggota DPR yang melakukan tindakan tercela, sedangkan pihak yang kontra menganggap putusan MK itu merupakan kemunduran. Ada juga kekhawatiran izin Presiden hanya menambah rantai birokrasi pemeriksaan perkara pidana, khususnya di daerah.
Putusan MK itu sebenarnya tidak berlaku untuk seluruh pidana. MK tidak menyentuh pasal pengecualian terhadap sejumlah pidana yang disebutkan dalam Pasal 245 Ayat (3). Pasal yang dikecualikan itu adalah tertangkap tangan melakukan pidana; disangka melakukan pidana dengan ancaman hukuman mati atau seumur hidup atau pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Tindak pidana khusus yang dikecualikan, antara lain, adalah korupsi, pencucian uang, dan narkotika.
Putusan MK ini berpotensi menimbulkan kompleksitas hukum dan penafsiran hukum. Ini harus dipikirkan. Kita hargai sikap Presiden Joko Widodo yang menjamin tidak akan mempersulit permintaan izin pemeriksaan pidana. Pidana tetap pidana, apalagi pidana yang menyengsarakan rakyat, seperti korupsi. Pihak yang ingin melindungi siapa pun yang melakukan pidana korupsi sebenarnya telah kehilangan pijakan moralitasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar