Tata cara pembayaran JHT sebagaimana diatur Pasal 26 PP No 46/2015, subtansinya oleh PP No 60/2015 direvisi menjadi sebagai berikut: manfaat JHT wajib dibayarkan kepada peserta apabila peserta mencapai usia pensiun; peserta mengalami cacat total tetap; atau peserta meninggal dunia (Ayat 1). Melalui PP No 60/2015, pemerintah ingin mengembalikan spirit dan tata cara pembayaran persis seperti diamanatkan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Untuk mengakomodasi berbagai kondisi atau situasi yang belum diatur UU No 40/2004 tentang SJSN, dalam Pasal 26 Ayat (5) PP No 60/2015 tentang perubahan atas PP No 46 tentang Penyelenggaraan Program JHT, pemerintah membuat terobosan atau ijtihad dengan mengintroduksi klausul yang berbunyi: "Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pembayaran manfaat JHT sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri".
Menindaklanjuti amanat itu, Menteri Ketenagakerjaan RI kemudian menerbitkan Permenaker No 19/2015 tentang tata cara dan persyaratan pembayaran manfaat JHT. Permenaker tersebut menjawab dan menuntaskan semua aspirasi dan kontroversi yang menyertai terbitnya PP No 46/2015.
Pemerintah melalui Permenaker No 19/2015 melakukan ijtihad dengan mengelaborasi persyaratan pembayaran JHT bagi peserta yang mencapai usia pensiun. Dalam Pasal 3 Ayat (2) disebutkan bahwa: "manfaat JHT bagi peserta mencapai usia pensiun sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) termasuk juga peserta yang berhenti bekerja". Peserta yang berhenti bekerja meliputi: peserta yang mengundurkan diri; peserta yang terkena PHK; peserta yang meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya (Ayat 3).
Terhadap peserta yang mengundurkan diri atau terkena PHK, selain harus melengkapi sejumlah persyaratan, seperti kartu asli peserta BPJS Ketenagakerjaan, surat keterangan pengunduran diri atau PHK dari perusahaan tempat bekerja, serta fotokopi KTP dan kartu keluarga yang masih berlaku, maka akan mendapatkan pembayaran tunai dan sekaligus setelah melewati masa tunggu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal surat keterangan pengunduran diri atau PHK diterbitkan.
Alasan revisi
Langkah pemerintah melakukan revisi PP JHT dan menerbitkan Permenaker No 19/2015, jika kita cermati secara saksama, didasarkan kepada beberapa pertimbangan. Pertama, struktur dunia kerja di Indonesia masih didominasi para pekerja alih daya (outsourcing), yangturnover keluar masuknya kelompok pekerja ini cukup tinggi, masa kerjanya bersifat jangka pendek (rata-rata 2 tahun-3 tahun) dan ikatan kerjanya bersifat kontraktual. Karena bersifat kontraktual dengan masa kerja yang relatif singkat, kepesertaan mereka dalam program JHT pun menjadi tidak berkesinambungan (sustainable). Mereka terpaksa berhenti mengiur karena sudah tidak bekerja lagi.
Syarat masa kepesertaan lima tahun dengan masa tunggu satu bulan, sebagaimana tertera dalam ketentuan pada era Jamsostek, dianggap sudah tidak relevan. Pekerja yang di-PHK dan mengundurkan diri, faktanya, tidak mudah untuk bisa kembali bekerja. Oleh sebab itu, daripada peserta "dipaksa" menunda pengambilan manfaat JHT-nya, sementara di sisi yang lain mereka susah untuk bisa kembali bekerja dalam waktu singkat, maka prasyarat masa kepesertaan lima tahun tersebut dieliminasi. Ketentuan ini sesungguhnya juga tak sejalan dengan filosofi dan esensi program JHT. Filosofi dan esensi program JHT hanya relevan bagi pekerja permanen (permanent employee) dan masih produktif bekerja.
Kedua, dalam situasi pertumbuhan ekonomi yang melambat yang berakibat kepada menurunnya daya beli masyarakat, kebijakan pemerintah yang memperkenankan para pekerja yang mengundurkan diri dan mengalami PHK untuk mengambil JHT dengan masa tunggu hanya satu bulan bisa menjadi jaring dan katup pengaman ekonomi. Karena UU Pesangon tak efektif, manfaat JHT yang diambil para pekerja diharapkan bisa kembali memperkuat daya beli dan menggerakkan konsumsi masyarakat di kala ekonomi mengalami krisis.
Meningkatnya kemampuan konsumsi itu diharapkan bisa kembali menggairahkan roda perekonomian nasional. Spirit ini sejalan misi dan filosofi program jaminan sosial. Dalam konteks makroekonomi, jika ekonomi mengalami pertumbuhan, program jaminan sosial berfungsi menyedot surplus ekonomi dalam bentuk iuran, untuk memperkuat tabungan nasional. Sebaliknya, jika ekonomi mengalami penurunan atau krisis, program jaminan sosial harus membayarkan jaminannya kepada peserta untuk memperkuat daya beli. Fungsi makroekonomi jaminan sosial inilah yang kelihatannya ingin dikedepankan oleh revisi PP JHT di atas.
Ketiga, secara sosiologis, masyarakat pekerja di Indonesia preferensi dan kerangka berpikirnya masih bersifat jangka pendek. Mayoritas pekerja di Indonesia masih fokus untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan belum mau berpikir untuk antisipasi risiko pada masa depan. Perspektif tersebut boleh jadi dipicu oleh kenyataan bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia masih menganut prinsip extended family(keluarga besar). Risiko hari tua pada masa depan tak perlu terlalu dikhawatirkan karena nanti apa pun risikonya di masa depan bisa diantisipasi karena masih ada anak, menantu, saudara, dan lain-lain yang bisa diharapkan menolong kebutuhan ekonominya.
Kondisi tersebut berbeda dengan para pekerja di negara-negara maju. Umumnya para pekerja di negara maju, karena menganut prinsip keluarga inti, tidak mau atau menolak disuruh mengambil tabungan hari tuanya pada usia produktif. Karena mereka memiliki kesadaran yang sangat kuat, masa depan mereka di hari tua, harus mereka sendiri yang memikirkan dan mempertanggungjawabkannya. Tidak bisa menggantungkan hidup di hari tua kepada anak, menantu, dan saudara-saudara. Karena mereka menyadari bahwa anak-anak, menantu dan saudara-saudara mereka pasti punya kebutuhan dan persoalan sendiri di masa depan. Tidak etis jika mereka pada masa tua menjadi beban bagi orang lain. Kesadaran inilah yang kelihatannya belum tumbuh pada sebagian besar pekerja di Indonesia.
Panik klaim
Terlepas dari apa pun alasan yang mendasarinya, terbitnya PP No 60/2015 pada pertengahan Agustus 2015, yang kemudian dalam waktu satu minggu diikuti keluarnya Permenaker No 19/2015, disambut antusias para buruh di Indonesia. Tepat 1 September 2015, hampir seluruh kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan diserbu para peserta yang ingin mengambil manfaat JHT. Peserta yang mengambil klaim JHT tiba-tiba membeludak, antreannya mengular hingga ke jalan raya. Ruang pelayanan kantor-kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan di seluruh Indonesia penuh sesak diisi para pekerja.
Berdasarkan data yang dirilis BPJS Ketenagakerjaan diperoleh informasi bahwa khusus untuk bulan September sejak tanggal 1 sampai 22 September 2015 saja, jumlah peserta yang mengambil klaim JHT mencapai 246.844 orang, dengan klaim yang dibayarkan Rp 1,57 triliun. Rinciannya adalah mencapai usia pensiun 2.835 kasus, meninggalkan NKRI 67 kasus, mengundurkan diri dan PHK 179.744 kasus, cacat tetap total 2 kasus, meninggal 1.422 kasus dan mengambil sebagian (sebesar 10 persen, untuk kepesertaan mencapai 10 tahun) 62.774 kasus.
Pertanyaannya, mengapa jumlah peserta yang mengajukan klaim tiba-tiba meningkat dan kantor BPJS Ketenagakerjaan diserbu peserta? Selain karena alasan-alasan di atas, panik klaim yang kini sedang berlangsung ternyata dipicu sebab-sebab lain.
Di kalangan peserta, terutama melalui media sosial, sempat beredar dua jenis rumor. Isu pertama yang berkembang adalah bahwa kebijakan yang memperkenankan peserta yang mengundurkan diri dan mengalami PHK untuk mengambil manfaat JHT hanya berlaku satu bulan dan bersifat temporer. Ketentuan masa tunggu satu bulan, oleh beberapa pihak, dipelintir bahwa kebijakan tersebut hanya berlaku satu bulan. Setelah itu, kebijakan klaim JHT akan kembali direvisi dan nantinya mengikuti ketentuan UU No 40/2004 tentang SJSN.
Kedua, beredar kabar bahwa kondisi keuangan BPJS Ketenagakerjaan tidak solid. Jika para peserta melakukan rush claim secara bersamaan, kemampuan keuangan BPJS Ketenagakerjaan bisa kolaps dan akan mengalami kesulitancash flow. Isu defisit keuangan yang dialami BPJS Kesehatan dianggap bisa menerpa BPJS Ketenagakerjaan juga.
Kedua rumor itu tak benar. Pemerintah tak pernah mengatakan bahwa kebijakan revisi itu bersifat temporer. Isu itu sangat menyesatkan karena kemampuan keuangan BPJS Ketenagakerjaan saat ini cukup likuid dan solvable, sebagaimana bisa dilihat dari neraca publikasinya.
Meskipun regulasi tentang JHT sudah direvisi dan aspirasi para pekerja telah diakomodasi, jika bukan karena kebutuhan yang mendesak, sebaiknya para pekerja perlu bersikap rasional dan menimbang dengan matang tatkala akan memanfaatkan dana JHT. Jika ada sumber-sumber pendapatan lain yang masih dimiliki untuk memenuhi konsumsi saat ini, JHT perlu dibiarkan untuk mengamankan kebutuhan pekerja di usia tua.
Ibarat celengan, tabungan hari tua tersebut harus terus kita isi dan penuhi, dengan menyisihkan sebagian pendapatan saat ini ketika kita masih bekerja dan produktif. Akumulasi dana JHT yang sudah terkumpul dalam jumlah yang signifikan, jika nanti diambil sekaligus, bisa dimanfaatkan untuk kegiatan produktif lain pada saat kita memasuki usia tua. Apalagi, imbal hasil yang diberikan BPJS Ketenagakerjaan cukup siginifikan serta bebas dari pajak dan biaya administrasi. Program JHT merupakan tabungan wajib dan dipaksakan oleh UU. Sisi edukatif dari program JHT adalah ingin membiasakan pekerja menabung dan memikirkan masa depannya sejak mereka mulai bekerja. Rupanya hingga saat ini filosofi tersebut belum dipahami secara utuh oleh pekerja di Indonesia. Masyarakat pekerja Indonesia belum melihat JHT sebagai salah satu instrumen untuk memitigasi risiko di hari tua.
AMRI YUSUF
Praktisi Jaminan Sosial
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Menimbang Hari Tua Pekerja".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar