Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 27 Oktober 2015

Revolusi Mental Birokrasi (EKO PRASOJO)

Genap setahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, revolusi mental yang dicanangkan dalam Nawacita dan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 tampaknya belum dapat dinilai keberhasilannya.

Revolusi mental memang harus dimulai dari penyelenggara negara: politikus, penegak hukum, dan pejabat birokrasi. Karena itu, tulisan ini akan berfokus pada revolusi mental birokrasi dan mengurai persoalan dasar dalam model mental dan budaya birokrasi kita.   

Model mental birokrasi

Mengapa revolusi mental selayaknya harus dimulai dari biro- krasi? Karena birokrasi adalah alat negara yang sehari-hari menjalankan pelayanan, pemerintahan, dan pembangunan. Karena peran dan fungsinya, birokrasi akan jadi tolok ukur terdepan penampilan negara kepada rakyatnya. Sikap mental birokrasi yang bersih, melayani dengan profesional tentu akan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada negara. Sebaliknya akan terjadi. Jika birokrasi dipandang korup, pilih kasih, dan tak bisa diandalkan, akan muncul ketidakpercayaan masyarakat kepada negara. Kepercayaan masyarakat kepada negara sangat penting dan krusial dalam perubahan model mental masyarakat keseluruhan.

Untuk melakukan revolusi mental birokrasi, harus diketahui dan dipahami terlebih dulu beberapa nilai dasar yang saat ini eksis dalam birokrasi kita. Pertama, nilai dasar orientasi keku- asaan. Sejarah kolonialisme dan kooptasi birokrasi oleh politik yang masif telah menyebabkan terbentuknya budaya kekuasaan. Budaya ini dicirikan dominannya pola pikir dan orientasi para birokrat pada jabatan dan otoritas, budaya minta dilayani, afiliasi kepada kekuasaan politik, serta ketiadaan sensivitas atas kebutuhan dan pelayanan kepada masyarakat. Budaya kekuasaan dalam birokrasi ini terutama terbentuk dari proses perekrutan dan penempatan jabatan yang tertutup, tak berbasis kompetensi dan kinerja; melainkan kedekatan hubungan baik politik, kekerabatan, kekeluargaan, dan kemampuan bayar.

Nilai dasar kedua dalam birokrasi Indonesia adalah orientasi pada peraturan perundang-undangan. Para birokrat di Indonesia selalu mendasarkan diri pada berbagai peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan tugas. Ini menyebabkan kepatuhan yang berlebihan, hilangnya daya kritis, tumpulnya daya nalar dan inovasi, serta lemahnya kreativitas.

Ketiga, nilai dasar ego sektoral yang tinggi. Indonesia adalah salah satu negara yang para biro- kratnya amat mengedepankan kepentingan unitnya, instansinya, dan sektornya. Mengapa ini bisa terjadi? Ini sebenarnya dipicu manfaat yang bisa diterima pegawai dan kelompoknya dalam unit atau instansi dengan tetap bekerja secara sendiri.

Ada semacam kesulitan mengembangkan budaya berbagi informasi dan kewenangan dalam menjalankan tugas pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat karena setiap informasi dan kewenangan berarti hegemoni kekuasaan dan sumber penghasilan tambahan pegawainya.

Keempat, secara mental birokrasi, Indonesia adalah korup. Meski sikap mental korup ini produk dari kelemahan sistem, secara kolektif hal ini mengganggu jalannya pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Berbagai upaya membangun akuntabilitas publik kerap sangat formal administratif, bukan dibangun suatu kesadaran terhadap amanah dan tanggung jawab jabatan. Kejujuran, tanggung jawab, dan disiplin rusak oleh sikap mental dan sistem korup.

Kelima, belum terbangunnya nilai budaya kinerja. Banyak sekali program dan kegiatan yang diadakan dan dilaksanakan birokrasi yang tak memiliki sasaran strategis, indikator kinerja, dan target kinerja yang jelas.

Membangun nilai dasar

Keseluruhan model mental birokrasi itu, sesuai dengan penyebabnya, sistemik dan mengakar. Karena itu, perbaikan yang dilakukan harus menyentuh perubahan sistem dan nilai dasar. Pada prinsipnya, revolusi mental birokrasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam reformasi administrasi. Caiden (1969) menyebutnya reformasi budaya.

Sebagaimana prinsip reformasi administrasi, komitmen dan keteladanan pemimpin secara kolektif akan jadi syarat dasar keberhasilan. Perubahan model mental butuh contoh keteladanan pemimpin. Dalam konteks birokrasi Indonesia yang amat bersifat patronase, sebenarnya revolusi mental lebih mudah dilakukan jika para pemimpin-baik politikus maupun pejabat senior birokrasi-memberi contoh dalam ucapan, sikap, pikiran, dan perbuatan. Acap kali masalahnya justru terletak pada ketidakhadiran keteladanan pemimpin.

Revolusi mental harus dimulai dengan menentukan nilai dasar yang akan dicapai. Sampai saat ini pemerintah belum menentukan nilai dasar itu. Ketiadaan nilai dasar ini membuat kegamangan semua pihak dalam birokrasi pemerintahan tentang apa dan bagaimana revolusi mental birokrasi harus dilakukan. Kerap hal ini dibicarakan dan menjadi jargon pidato para pejabat publik, tetapi tak menemui praktik implementasinya.

Tak sedikit pula konsep ini menimbulkan mispersepsi dan misinterpretasi (Kesowo,Kompas, 20/10). Penulis mengusulkan kepada pemerintah menetapkan nilai dasar yang akan dicapai berdasarkan model mental yang eksis: kejujuran, kedisiplinan, tanggung jawab, dan orientasi kinerja. Setiap nilai dasar itu harus diturunkan dalam perilaku dan sikap yang mencerminkannya, serta disusun suatu rencana aksi melakukan internalisasi. Salah satu rencana aksi yang mungkin dilakukan: membentuk sekolah kader aparatur sipil negara, mengubah kurikulum diklat jabatan pemimpin tinggi, serta mempersiapkan agen pengubah mental di setiap instansi.

Revolusi mental harus dilaku- kan melalui perubahan sistem. Perubahan ini ditujukan untuk membangun kompetisi dan keterbukaan dalam birokrasi. Tradisi urut kacang dan senioritas dalam pengisian jabatan harus diubah dengan sistem promosi yang kompetitif dan terbuka berbasis kompetensi, sebagaimana mandat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Sistem manajemen kinerja harus diterapkan dari tingkat organisasi, unit, hingga tingkat individu, dengan indikator dan target kinerja yang jelas dan terukur. Capaian kinerja ini harus terhubung dengan promosi jabatan, kenaikan kompensasi, dan kesempatan pengembangan diri.

Untuk mencegah berkembangnya sikap mental pencari rente dan ego sektoral, pemanfaatan teknologi-terutama teknologi informasi dan komunikasi-menjadi suatu keniscayaan. Keterbukaan informasi publik akan memaksa birokrasi: transparan dan akuntabel. Teknologi informasi dan komunikasi akan membantu terbentuknya budaya berbagi data dan informasi di antara instansi pemerintah dalam pengambilan keputusan.

Yang tidak kalah penting ialah bahwa revolusi mental juga harus didukung oleh sistem pengawasan internal pemerintah yang kuat. Tidak saja pengawasan terhadap kepatuhan hukum dan kinerja, tetapi juga terhadap kode etik, kode perilaku, dan integritas birokrat.

Untuk menjaga semua itu, birokrasi harus berpindah, hijrah, dari orientasi kewenangan kepada orientasi pengetahuan.

Kebijaksanaan hanya akan ada dalam praktik. Semoga.

EKO PRASOJO

GURU BESAR FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Revolusi Mental Birokrasi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger