Setelah hukum ada, negara menegakkan hukum itu tanpa pandang bulu. Maka, negara harus terus hadir di tengah masyarakat dalam konteks ini. Apa jadinya jika negara absen? Salah satunya peristiwa tragis ini: seorang Salim Kancil dibantai secara keji oleh sejumlah orang di depan balai desa (simbol negara di tingkat paling bawah).
Salim Kancil seorang petani dan aktivis lingkungan hidup yang tergabung dalam Forum Petani Anti Tambang. Salim dibunuh oleh puluhan orang pada Sabtu (26/9), sesaat sebelum demonstrasi penolakan tambang pasir di Desa Selo Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Puluhan warga pro penambangan pasir itu juga mengeroyok Tosan.Seperti halnya Salim, Tosan merupakan petani penggerak penolakan penambangan pasir di Pantai Watu Pecak. Hal tersebut mereka lakukan lantaran penambangan mengakibatkan pesisir pantai rusak. Di sisi lain, lahan pertanian warga juga terkena imbas kerusakan. Terlebih lalu lalang truk besar pengangkut pasir pertambangan telah merusak beberapa ruas jalan desa.
Salim tewas dengan luka bacok dalam kondisi tangan terikat. Adapun Tosan mengalami luka serius dan tengah dirawat secara intensif di RS Saiful Anwar, Malang. Hingga kini 37 berkas pemeriksaan tersangka perkara sudah dihimpun: 24 kasus penganiayaan dan pembunuhan; 9 kasus penambangan ilegal; dan 4 khusus kasus pengeroyokan Tosan dan pembunuhan Salim serta penambangan ilegal.
Menurut Kontras, kronologi pembantaian keji itu dimulai ketika sekelompok orang yang diduga merupakan anggota Tim 12 bersama-sama yang lainnya hingga berjumlah 40 orang merangsek ke rumah Salim. Mereka kemudian menyeret Salim dengan tali tampar yang biasa dibuat untuk menggiring sapi menuju Balai Desa Selok Awar-Awar. Suasana ketika itu cukup lengang karena pegawai libur pada Sabtu. Mereka lalu merebahkan Salim untuk menyetrumnya.
Upaya pembunuhan atas Salim dengan setrum itu diduga disaksikan oleh anak-anak PAUD (pendidikan anak usia dini) yang kebetulan sedang menggelar kelas di sebelah balai desa. Meski disetrum, Salim kabarnya masih bisa bertahan. Dia kemudian disiksa secara keji di luar batas kemanusiaan, di sekitar tempat pemakaman umum, sehingga ia meninggal.
Menurut data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Salim bukanlah orang pertama yang diduga jadi korban pembunuhan akibat menolak penambangan pasir di Kabupaten Lumajang. Dari Desember 2014, proyek ini (penambangan pasir) dimulai dan melewati tiga desa. Dari semua desa masing-masing ada satu yang meninggal. Salim ini yang keempat, kata pengacara publik LBHJ, Alldo Felix (28/9).
Ada dalam ketiadaan
Apa yang terjadi pada Salim dan Tosan menggambarkan dengan terang absennya negara yang direpresentasikan oleh aparat keamanan (polisi). Aparat sebenarnya sudah dilapori perihal penambangan pasir ilegal. Para pelapor itu sering kali mendapat ancaman dari orang-orang yang merasa bisnis ilegal mereka terganggu. Pada kenyataannya, peristiwa tragis itu terjadi, dan aparat begitu lambat mengantisipasi. Mestinya aparat segera memberikan jaminan perlindungan karena sebenarnya masalahnya sudah serius dan membahayakan.
Ini masalah kehidupan warga yang jelas harus dilindungi oleh negara. Tetapi, sayangnya, negara seperti "ada tapi tak ada". Aparat sebagai penegak hukum di satu sisi, dan balai desa sebagai simbol negara di sisi lain, seperti "ada tapi tak ada". Ia ada dan berwujud. Tetapi, ada-nya itu seperti tidak ada. Atau ada, tetapi seperti tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah ada kejadian, baru tiba-tiba muncul. Tidak hanya aparat dan pemerintah daerah setempat, tetapi bahkan dari pusat. Suara- suara dari pusat pemerintahan di Jakarta bermunculan begitu nyaring terdengar, meminta kasus itu dituntaskan.
Semua sepakat kasus itu memang harus dituntaskan. Tetapi, apakah negara dengan segala perangkatnya itu selama ini menyadari absennya mereka dalam banyak persoalan riil di lapis bawah? Salim dan Tosan, juga orang-orang seperti mereka di tempat-tempat lain, adalah simbol perlawanan masyarakat lapis bawah itu, sekaligus seperti hendak mengatakan bahwa negara itu harus hadir melindungi warga dan menegakkan hukum.
Jika kasus-kasus seperti Salim dan Tosan tidak diusut tuntas, hal yang sama bisa jadi bakal terjadi di tempat-tempat lain dengan cerita serupa. Negara harus memaksimalkan fungsinya seperti yang diistilahkan oleh Jeremy Bentham sebagai panopticon dalam karya klasiknya, Panopticon; Or The Inspector House (1787). Menurut Foucault (1995), dalam panopticon, satu orang pengawas di menara bisa mengawasi aktivitas banyak orang dalam tahanan. Yang dikembangkannya adalah sebuah model pengawasan melalui segelintir kecil orang (para sipir atau pengawas, dan atasannya) secara konstan mengawasi banyak orang. Para tahanan tahu bahwa mereka selalu berada dalam pengawasan, tetapi tidak satu pun dari mereka tahu kapan pengawasan dilakukan.
Fungsi panopticon sebenarnya adalah mendisiplinkan masyarakat dengan melakukan pengawasan terus-menerus tanpa diketahui oleh yang diawasi. Dalam kasus Salim dan Tosan, negara tidak mengawasi, tetapi tampak membiarkan dengan tidak melakukan antisipasi dan perlindungan yang maksimal. Akhirnya, setelah nyawa Salim melayang, baru tiba-tiba negara hadir dengan penuh kekagetan. Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi negara untuk tidak absen mengawasi dan melindungi kehidupan warganya. Sebab, itulah di antara tugas penting negara.
FAJAR KURNIANTO
Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Salim Kancil dan Absennya Negara".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar