Ribuan warga lain di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan di Kalimantan telah menjadi korban merajalelanya asap.
Sebenarnya Indonesia telah menunggu selama setidaknya 20 tahun untuk dapat menanggulangi asap akibat kebakaran—atau lebih tepatnya pembakaran—hutan untuk kepentingan pembukaan lahan perkebunan.
Kamis (8/10), Presiden Joko Widodo akhirnya menyatakan membuka pintu untuk bantuan asing. Keputusan yang melegakan, sekaligus juga kita sesali, mengapa baru sekarang hal ini disampaikan. Seandainya bantuan itu kita terima tiga atau empat bulan silam, kita tak perlu semenderita dan semalu seperti sekarang ini.
Negara tetangga bisa protes, tetapi mereka—karena tahu betapa sensitifnya Indonesia di saat sekarang ini—hanya mengelus dada. Kekurangan yang paling menonjol dari upaya Indonesia adalah lambannya aksi yang efektif.
Secara obyektif, kita bisa memahami. Semua karena sarana pemadaman api yang kita miliki sudah tidak cukup lagi untuk memadamkan kebakaran pada level yang ada sekarang. Sejumlah helikopter kecil harus menembus asap pekat di jantung kebakaran? Sungguhmission impossible. Penggunaan C-130 Hercules untuk teknologi modifikasi cuaca tidak efektif karena tiadanya inti awan hujan.
Sejatinya kita sudah harus menyerah empat bulan silam dan meminta bantuan internasional untuk membantu memadamkan api yang dikobarkan oleh pihak-pihak yang sangat tidak bertanggung jawab itu. Sesudah api padam, pihak itulah yang harus dihukum seberat-beratnya.
Namun, itu nanti, ada waktu tersendiri untuk membuat perhitungan dengan mereka. Saat ini, yang harus kita prioritaskan adalah datangnya sarana pemadaman api. Kita membaca dari Singapura akan datang helikopter besar Chinook CH-47 untuk menggelontorkan zat penghambat penyebaran api (fire retardant).
Sementara dari Rusia semoga kita bisa mendapat sewa pesawat Beriev Be-200. Semoga saja masih ada cadangan, mengingat jet amfibi spesialis pemadaman kebakaran hutan ini diproduksi hanya sembilan pesawat. Semoga pula Malaysia bisa mengerahkan pesawat CL-415 yang dimilikinya. Kita juga menunggu bantuan dari Australia, Tiongkok, dan negara lain.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang akan menyelia operasi bala bantuan asing ini kiranya juga bisa menyimak prosedur dan pemanfaatan teknologi dirgantara yang akan dikerahkan untuk menaklukkan api.
Dengan itu, setelah api padam, kita bisa menetapkan langkah untuk mencegah dan mengantisipasi jika masih ada api yang muncul tahun depan. Target kita, tahun depan tidak ada lagi api yang jahat bagi lingkungan dan kemanusiaan itu.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Akhirnya... Bantuan Internasional".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar