Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 13 November 2015

Bahasa Pejabat di Luar Negeri (ABDILLAH TOHA)

Konon dalam perhelatan internasional di Geneva, Swiss, seorangilmuwan Jepang menyampaikan pidato ilmiah. Di deretan kursi terdepan, duduk, antara lain, duta besar Inggris yang menyimak pidato ilmuwan Jepang itu dengan tekun.

Selesai pidato, tepuk tangan gemuruh mengikuti turunnya pembicara dari podium. Sementara itu, dubes Inggris dengan sedikit terkejut dan heran menyampaikan kepada peserta yang duduk di sampingnya bahwa dia tak menyangka banyak sekali kemiripan bahasa Jepang dengan bahasa Inggris sehingga dia bisa menangkap makna beberapa kata pembicara. Padahal, pidato ilmuwan Jepang itu seluruhnya disampaikan dalam Inggris.

Kita tak tahu apakah cerita itu otentik, benar terjadi, atau sekadar lelucon. Inti pesan yang ingin disampaikan: berbicara bukan dengan bahasa ibu itu bisa merepotkan. Kita bisa salah pilih kata, salah mengucapkannya dengan benar, atau salah intonasi sehingga yang ingin kita sampai- kan bisa tak tertangkap utuh dan disalahpahami.

Dalam pergaulan internasional di bumi yang makin menyatu dan tak berbatas ini, penguasaan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, sangat penting. Dalam hubungan diplomasi, negosiasi kontrak dan perjanjian, penyelesaian konflik, dan kasus hukum di lembaga-lembaga peradilan dunia, bila tak menguasai bahasa Inggris kita akan dirugikan dalam banyak segi. Kita juga bisa salah menyampaikan pesan atau lambat menangkap pesan lawan.

Sebagai negeri bekas jajahan Belanda, kita relatif tak beruntung dibandingkan dengan bekas jajahan Inggris, seperti Singapura, Malaysia, India, karena bahasa Belanda bukan basantara (lingua franca) dunia sehingga tak banyak manfaatnya dalam pergaulan internasional.

Pertanyaannya, apakah dengan demikian para pejabat tinggi kita, khususnya ketika berhubungan dengan luar negeri, harus menguasai bahasa Inggris? Idealnya memang begitu, tetapi tidak harus demikian karena ketika memilih pemimpin, tekanan bukan harus diberikan pada kemahiran berbahasa asing, melainkan kepada faktor lain lebih penting dan berhubungan dengan kemampuannya dan integritasnya sebagai pemimpin.

Penggunaan di luar negeri

Belakangan, setelah Presiden Joko Widodo beberapa kali melawat ke luar negeri, terakhir ke Amerika Serikat baru-baru ini, banyak perbincangan dan kritik di masyarakat dan media sosial tentang penggunaan bahasa asing dalam pidato presiden di forum resmi di sana. Tampaknya selama ini hampir seluruh kepala negara dan pejabat kita—dengan pengecualian Presiden Soeharto—gemar menggunakan bahasa Inggris dalam kiprahnya di luar negeri. Padahal, seperti akan diuraikan di bawah, hal ini tidak tepat, tidak dibenarkan, dan tak selalu menguntungkan kita.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 pada Pasal 28 jelas menyatakan "Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam dan di luar negeri". Bahkan, Pasal 32 mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam forum yang bersifat internasional di dalam negeri.

Pejabat pemerintah negeri lain telah lebih dahulu menyadari manfaat penggunaan bahasa sendiri di luar negeri. Dalam pengalaman dan observasi saya pada berbagai pertemuan internasional, pejabat negeri lain hampir semua menggunakan bahasa mereka sendiri di forum resmi, termasuk dalam berbagai wawancara televisi, dengan dibantu penerjemah ahli. Rasanya kita tidak pernah menyaksikan Presiden Vladimir Putin dari Rusia, Presiden Francois Hollande dari Perancis, Presiden Xi Jinping dari Tiongkok, atau PM Shinzo Abe dari Jepang menggunakan bahasa Inggris dalam forum resmi. Bukan karena mereka tak mampu, tetapi karena mereka tak mau. Mereka tak malu dan tak khawatir disangka bodoh, bahkan merasa bangga menggunakan bahasa sendiri.

Keuntungan lainnya adalah, pertama, dengan menggunakan bahasa sendiri, kita dapat berbicara lebih jelas, lugas, dan santai. Betapa pun hebat penguasaan bahasa asing kita, tetap saja lebih mudah dan tak melelahkan bila kita pakai bahasa sendiri.

Kedua, dengan menggunakan penerjemah ahli, kemungkinan membuat kekeliruan dalam penyampaian kita akan sangat kecil. Begitu pula, kefasihan ucapan penerjemah ahli akan menghindarkan kemungkinan salah tangkap oleh lawan bicara yang bisa mengakibatkan salah kutip oleh media internasional ataukisruh dalam hubungan internasional.

Ketiga, dan ini tidak kalah penting, di mana pun pejabat pemerintah berada, kapan pun mereka menyampaikan pernyataan resmi, tanggung jawab utamanya adalah kepada rakyatnya sendiri. Rakyat harus bisa memahami secara penuh apa yang disampaikan pejabat kita di mana pun dia berada. Untuk itu, penggunaan bahasa sendiri sangat membantu, sekaligus memudahkan awak jurnalis membuat laporan di media masing-masing.

Fasilitas penerjemah

Lalu, mengapa pejabat kita sering memaksakan diri berbahasa asing di luar negeri meski terkadang dengan gagap? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, ada rasa rendah diri dan khawatir dikira tidak berpendidikan cukup oleh publik di luar maupun di dalam negeri. Perasaan demikian jelas tak berdasar dan justru bisa merugikan pejabat yang bersangkutan bila kemudian kegagapannya yang menonjol.

Kedua, kurang ada kebanggaan dan kurang menghargai bahasa sendiri serta menganggap bahasa Inggris lebih modern dan maju dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Ketiga, UU kebahasaan kita belum ditindaklanjuti dengan peraturan pemerintah dan aturan protokol yang jelas pelaksanaannya.

Keempat, oleh karenanya, kita belum siap dan belum banyak memiliki perangkat penerjemah profesional di kalangan pegawai negeri sipil yang khusus dididik untuk membantu pejabat tinggi kita.

Sejumlah negara telah mengembangkan pendidikan dan fasilitas khusus bagi penerjemah profesional. Di Tiongkok, umpamanya, terdapat ribuan penerjemah profesional, termasuk penerjemah simultan yang mampu menerjemahkan secara lisan bersamaan waktu ketika kita sedang berbicara. Semua itu hasil program pemerintah yang memang memfasilitasi lembaga pendidikan khusus yang memproduksi penerjemah.

Uni Eropa, termasuk parlemennya yang menampung anggota dari puluhan etnisitas yang berbeda bahasa, menggunakan 24 bahasa resmi dalam kerjanya dengan menggunakan penerjemah dan penerjemah simultan dari berbagai bahasa. Anggaran yang dialokasikan khusus untuk membiayai kerja penerjemah tulis dan lisan ini mencapai lebih dari Rp 4,5 triliun per tahun. Perangkat elektronik canggih juga sekarang tersedia luas di mana-mana untuk keperluan terjemahan simultan.

Dengan adanya korps penerjemah yang fasih dan profesional, para pejabat kita akandapat memusatkan pikirannya pada materi yang akan disampaikan tanpa terbebani energi untuk mengalihbahasakan ke dalam bahasa asing. Rakyat juga lebih bangga menyaksikan pemimpinnya menggunakan bahasa sendiri.

ABDILLAH TOHA, PEMERHATI POLITIK

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 November 2015, di halaman 7 dengan judul "Bahasa Pejabat di Luar Negeri".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger