Salah satu tujuan negara modern adalah menghadirkan negara hukum yang demokratis dan sejahtera. Banyak cara dapat dilakukan untuk mencapai tujuan ini. Beberapa negara memulai kebijakannya dengan memberikan perhatian yang besar terhadap pelayanan publik. Mereka meyakini pelayanan publik rentan terhadap berbagai penyimpangan, termasuk di antaranya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Urgensi pengawasan
Berbagai survei terkait dengan tingkat kepuasan pelanggan (stakeholders; para pemangku kepentingan) selalu terkait erat dengan kualitas pelayanan publik. Negara-negara yang pelayanan publiknya sangat baik dapat dipastikan mendapatkan nilai kepuasan pelanggan yang tinggi.
Dalam soal survei kepuasan pelanggan ini biasanya negara-negara Skandinavia selalu mendominasi. Di antara negara-negara anggota ASEAN, hanya Singapura yang mampu sejajar dengan negara-negara utama di dunia.
Bahkan, beberapa waktu lalu Bank dunia menerbitkan laporan berjudul Doing Business 2016: Measuring Regulatory Quality and Efficiency terhadap 189 negara. Dalam laporan ini Singapura berada pada posisi nomor satu di antara 189 negara sebagai negara paling bersahabat untuk berbisnis (the most friendly in doing business) di tahun 2016. Posisi selanjutnya ditempati Selandia Baru, Denmark, Korea Selatan, Hongkong, Inggris, dan AS. Salah satu keunggulan Singapura ada pada pelayanan publik, yang merefleksikan kualitas sumber daya manusia dan birokrasi mereka yang sangat baik.
Justru karena kita sedang berusaha keras memberantas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), relevan untuk mengaitkannya dengan pelayanan publik. Selama ini terkesan kita hanya fokus pada penindakan terhadap para koruptor.
Ironisnya, kuantitas dan kualitas korupsi itu terkesan belum berkurang secara signifikan, kalau tak ingin dikatakan cenderung kian menjadi-jadi. Buktinya? Masih ada petinggi negeri yang sering berkampanye anti korupsi ternyata terjaring dalam operasi tangkap tangan KPK.
Sudah waktunya fokus kita harus juga pada pelayanan publik. Harus ada mekanisme pengawasan yang efektif. Keberhasilan dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik niscaya akan dapat ikut menekan praktik-praktik korupsi.
Justifikasi lain urgensi pengawasan ini karena efektivitas pengawasan dapat melahirkan kepatuhan untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar kelompok masyarakat. Misalnya, sejak lama negara kita tergolong bukanlah "bangsa yang ramah" (friendly nation) untuk para penyandang cacat dan penduduk usia lanjut. Sedikit sekali fasilitas umum yang mempertimbangkan kebutuhan khusus bagi kelompok ini.
Mesti ada pengawasan untuk menjamin komitmen terhadap warga cacat dan orang tua yang berusia lanjut. Pengawasan yang ketat terhadap pelayanan publik dapat memaksa penyelenggara negara/pemerintahan memenuhi berbagai kebutuhan/fasilitas publik.
Lembaga Ombudsman
Memperbincangkan soal pengawasan publik membawa kita pada pembahasan soal Ombudsman Republik Indonesia. Ombudsman RI adalah lembaga negara yang independen, yang tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga-lembaga pemerintah lainnya.
Mengacu kepada UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman, jelas di sana dinyatakan bahwa tujuan pembentukan lembaga ini untuk memberikan pengawasan pada pelaksanaan pelayanan publik. Negara meyakini bahwa harus ada pengawasan terhadap pelaksanaan pelayanan publik.
UU Ombudsman secara tegas menyatakan bahwa lembaga ini memiliki tugas melakukan pengawasan terhadap pelayanan publik secara luas. Obyek pengawasannya terhadap semua kementerian negara, BUMN/BUMD, serta sebagian lembaga swasta dengan batas-batas tertentu.
Negara-negara Skandinavia, misalnya, yang sejak awal memfungsikan lembaga ombudsman dengan baik, memiliki tradisi penerapan aturan hukum (the rule of law) yang baik pula. The Rule of Law Index 2015 menempatkan empat negara dengan posisi tertinggi di dunia, secara berurutan adalah Denmark, Norwegia, Swedia, dan Finlandia. Sementara Indonesia menempati urutan ke-52, di bawah Singapura yang menempati urutan ke-9, Jepang di posisi ke-13, dan Malaysia di posisi ke-39.
Sebagai perbandingan, Ombudsman Denmark yang saat ini berpedoman pada UU Ombudsman Nomor 473 Tahun 1996 (sebelumnya diatur dalam UU Tahun 1954) telah berdiri sejak 1955, yang dikenal juga dengan istilah The Folketingets Ombudsman atau Parliamentary Commisioner. Di sana ditegaskan bahwa Ombudsman Denmark haruslah seorang sarjana hukum. Namun, Ombudsman Denmark tidak memiliki yurisdiksi terhadap lembaga peradilan (courts of justice).
Salah satu kelebihan Ombudsman Denmark adalah dapat melibatkan kejaksaan sebagai tindak lanjut rekomendasinya. Mereka dapat meminta jaksa penuntut umum melakukan penyidikan atau melakukan penuntutan di pengadilan. Bahkan mereka dapat memerintahkan dilakukan proses peradilan khusus terhadap penyelenggara pemerintahan terkait.
Sebagai upaya meningkatkan kewibawaan, Ombudsman Denmark tidak sungkan-sungkan memberikan kritik terbuka, sekalipun penyelidikan suatu kasus belum final. Mereka memiliki kebebasan yang luas untuk berkomentar.
Mungkin karena pelaksanaan/penegakan yang kuat dari rekomendasinya, Ombudsman Denmark mendapatkan kepercayaan yang tinggi dari masyarakatnya. Setidaknya mereka menerima 20.000 kasus setiap tahun. Bahkan keputusan-keputusan ombudsman diyakini oleh masyarakat Denmark setara dengan putusan pengadilan. Selain itu, rekomendasi ombudsman dinilai sebagai putusan yang bersifat final yang dapat diterima oleh para pihak terkait.
Pintu masuk berantas korupsi
Bagaimana dengan Indonesia? Selama ini justru diyakini, sekaligus disayangkan, banyak di antara rekomendasi Ombudsman RI tidak dipatuhi, sebagai indikasi adanya arogansi institusi. Oleh karena itu, mesti ada strategi Ombudsman RI untuk mereformasi kondisi ini. Strategi itu termasuk menerapkan penegakan hukum terhadap mereka yang secara nyata menolak atau tidak menjalankan rekomendasi dari lembaga ini.
Penerapan penegakan hukum yang saya maksudkan adalah bahwa ada tindakan lanjutan apabila rekomendasi Ombudsman RI tidak diikuti. Terbuka kemungkinan memproses hukum institusi yang mengabaikan rekomendasi, baik melalui peradilan tata usaha negara maupun melalui peradilan umum (perdata bahkan pidana).
Rekomendasi Ombudsman membuka celah melalui ketiga hukum tersebut. Selama ini tidak ada konsekuensi bagi institusi yang mengabaikan rekomendasi Ombudsman. Langkah hukum terhadap ketidakpatuhan dapat menjadikan Ombudsman RI lebih berwibawa.
Alternatif strategi lainnya, Ombudsman RI memelopori revisi UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman. Revisi bertujuan menjadikan lembaga tersebut lebih kuat dan terbukanya upaya paksa terhadap lembaga mana pun agar mematuhi rekomendasi Ombudsman. Semua ini bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Pelayanan publik yang berkualitas merupakan keniscayaan sebagai pintu masuk pemberantasan korupsi. Indonesia harus memiliki kualitas pelayanan publik yang prima jika ingin disejajarkan dengan negara-negara utama di dunia. Pada tahapan sekarang ini pengawasan pelaksanaan pelayanan publik di Indonesia masih harus dimaksimalkan.
AMZULIAN RIFAI,
DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SRIWIJAYA, PALEMBANG
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 November 2015, di halaman 6 dengan judul "Mengawasi Pelayanan Publik".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar