Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 18 November 2015

Tajuk Rencana: Buka dan Selesaikan (Kompas)

Dugaan keterlibatan Setya Novanto sebagai perantara perpanjangan perjanjian izin konsesi PT Freeport Indonesia telah menjadi isu politik baru.

Pada era demokrasi digital yang transparan, apa yang disebut transkrip percakapan antara Setya Novanto, MS (pejabat Freeport Indonesia), dan MR (pengusaha minyak) telah beredar luas. Meskipun belum ada konfirmasi soal kebenaran transkrip percakapan itu, sejumlah nama disebut. Diskursus di dunia maya itu tidak mungkin dihentikan dan akan mengawal proses formal di Mahkamah Kehormatan Dewan, bukan Majelis (Kompas, 17/11).

Dalam ruang media sosial, suara beragam. Ada yang mencela Menteri ESDM Sudirman Said. Namun, ada juga yang menyerukan agar Setya meminta maaf dan mundur sebagai pemimpin DPR. Ekspresi dan pandangan politik itu sah saja. Soal mundur, terserah pada Setya sendiri.

Setya mengakui pernah bertemu dengan pejabat Freeport Indonesia. Namun, ia membantah mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk meminta saham Freeport. "Selaku pimpinan DPR, tidak pernah membawa nama Presiden yang istilahnya mencatut," kata Setya (Kompas, 17/11). Wapres Kalla marah atas pencatutan nama itu. Begitu juga dengan Presiden Jokowi.

Keterbukaan informasi di dunia digital perlu ditangani dengan cepat agar kasusnya tidak berlarut dan menimbulkan kompleksitas politik yang tidak perlu. Karena Sudirman Said telah melaporkan kasus itu ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), menjadi tugas MKD untuk menindaklanjuti laporan itu.

MKD diberi tugas undang-undang menjaga dan menegakkan kehormatan serta keluhuran martabat DPR. Putusan MKD akan dihadapkan dengan rasionalitas publik yang banyak mendapatkan informasi soal dugaan keterlibatan Setya. Langkah cepat MKD memanggil semua pihak yang terkait perlu segera dilakukan agar publik mengetahui duduk persoalannya. Pemanggilan terhadap Setya, pengusaha minyak MR, dan MS dari Freeport Indonesia perlu dilakukan. Kasus ini adalah momentum yang tepat bagi MKD untuk menegakkan kehormatan anggota DPR.

MKD bisa merujuk pada Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik DPR yang ditandatangani Ketua DPR Setya Novanto pada 18 Februari 2015. Dalam Pasal 3 disebutkan, anggota DPR harus menghindari perilaku tindak pantas yang bisa merendahkan citra dan kehormatan DPR. Sementara dari sisi akuntabilitas, anggota DPR harus bersedia untuk diawasi masyarakat dan konstituennya. Ada juga pasal dalam kode etik yang melarang anggota DPR menggunakan jabatannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 November 2015, di halaman 6 dengan judul "Buka dan Selesaikan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger