Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 06 November 2015

TAJUK RENCANA: Mengubah Nasib Jadi Harapan (Kompas)

Rendahnya sejumlah indikator pembangunan program kependudukan dan keluarga berencana di perkotaan dibaca sebagai persoalan serius.

Serius sebagai persoalan, program kependudukan dan keluarga berencana (KKB) di perkotaan dalam kondisi memprihatinkan. Hasil program survei Performance Monitoring Accountability 2020 putaran pertama perlu dibaca sebagai prediksi kegagalan program KKB. Apalagi, 53 persen penduduk tinggal di perkotaan, dengan urbanisasi yang akan terus meningkat.

Indikator kegagalan KKB di antaranya diukur dari keseimbangan antara jumlah penduduk dan ketersediaan sarana hidup layak. Persoalan yang menyangkut jumlah dan mutu penduduk di perkotaan lebih bertali-temali dibandingkan perdesaan. Ironis kalau perhatian terhadap persoalan program KKB di perkotaan dilalaikan.

Prof Widjojo Nitisastro, ekonom yang memberi perhatian pada program demografi, memasukkan program kependudukan sebagai bagian utuh praksis pemerintahan rezim Soeharto. Program Keluarga Berencana (KB) berhasil menekan laju pertumbuhan pesat penduduk pada zaman Soeharto. Menurut pakar kependudukan dari Universitas Indonesia, Prof Moertiningsih Aditomo (2015), Prof Widjojo berhasil mengubah nasib (destiny) menjadi harapan (hope). Lewat program KB, jumlah penduduk bisa ditekan, termasuk sisi ekses negatifnya.

Sesudah pemerintahan Soeharto tumbang, tahun 1998, program ini kurang diperhatikan. Pun dengan program kependudukan. Artinya, tidak sekadar pengurangan jumlah anak, tetapi KKB tetap tak berhasil mengerem laju pertumbuhan jumlah penduduk.

Dengan upaya mengurangi ekses negatif implementasi program KB, menurut kita program KKB perlu diberi perhatian lebih. KKB dikembangkan menjadi program desain besar, satu paduan suara pengembangan sumber daya manusia yang bermutu; bukan banyak, tetapimemble. Sumber daya manusia yang bermutu perlu diselenggarakan dalam kondisi yang memadai menyangkut ketersediaan pangan, perumahan, pendidikan, dan lapangan kerja.

Penolakan Mahkamah Konstitusi atas permohonan uji materi UU Perkawinan agar usia nikah perempuan minimal 16 tahun dinaikkan menjadi 18 tahun menunjukkan belum ada satu paduan suara yang sama untuk suksesnya program KKB. Pernikahan usia dini, selain mengganggu program wajib belajar, juga merecoki kesiapan psikis seseorang menjadi ibu, belum lagi persoalan lain.

Dalam konteks itu, data KKB di perkotaan mengkhawatirkan; hanya potret, belum ada satu paduan suara. Serius itu! Kalau dibiarkan berlarut, benarlah pernyataan Auguste Comte (1798-1857), demography is destiny.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 November 2015, di halaman 6 dengan judul "Mengubah Nasib Jadi Harapan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger