Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 20 November 2015

TAJUK RENCANA: Pendidikan Menyesatkan (Kompas)

Gugatan pemikir Paulo Freire soal pendidikan yang menindas tampak masih relevan meski sudah disampaikan sekitar setengah abad lalu di Brasil.

Pekan ini, di Jakarta, muncul gugatan tentang proses pendidikan anak usia dini. Gugatan muncul karena pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung tidak hanya memberatkan anak-anak usia dini, 0-6 tahun, yang sedang berada dalam usia bermain, tetapi juga dianggap menindas karena dipaksakan.

Praktik pendidikan yang menindas itu diangkat dalam diskusi "Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang Holistik dan Terintegrasi: Prospek dan Tantangan", Rabu (18/11), di Jakarta. Diskusi yang diselenggarakan Education Sector Analytitical and Capacity Development Partnership itu, antara lain, mempertanyakan pembelajaran membaca dan berhitung di PAUD.

Usia dini merupakan usia bermain. Sesuai dengan tahap perkembangan usia, anak-anak perlu dirangsang untuk bermain dan menumbuhkan keceriaan hidup. Tentu saja dianggap terlalu dini jika anak-anak kecil itu sudah dipaksa membaca, menulis, dan berhitung. Semestinya PAUD hanya memperkenalkan angka dan huruf, tetapi itu pun melalui permainan.

Proses pendidikan yang menekan dan menindas tentu saja menyesatkan karena dapat mengganggu dan membahayakan perkembangan anak-anak. Masa kanak-kanak disebut indah dan menyenangkan, antara lain, karena keleluasaan bermain. Lebih-lebih lagi bermain merupakan kodrat manusia, Homo ludens, di samping sebagai makhluk bekerja, Homo faber. Anak-anak, sesuai dengan perkembangannya, membutuhkan permainan.

Tidaklah berlebihan jika pemikir seperti Paulo Freire pada 1960-an sudah mengecam apa yang disebutnya sistem pendidikan yang menindas. Anak-anak ditindas oleh keinginan orangtua yang menganggap kualitas PAUD diukur dari hasil membaca, menulis, dan berhitung anak-anak. Penindasan dalam bidang pendidikan sudah sering disoroti selama ini.

Siswa dan mahasiswa di Indonesia dinilai terlalu dijejali berbagai mata pelajaran atau mata kuliah yang menekankan daya menghafal ketimbang daya reflektif kritis dan dialogis. Guru tak dapat dipersalahkan sepenuhnya karena dituntut mengikuti kurikulum yang disusun pemerintah, yang belum tentu relevan dengan kebutuhan pendidikan.

Tantangan pendidikan Indonesia tentu saja tidak hanya dari prosesnya, tetapi juga dari hasilnya. Kemampuan sarjana-sarjana tamatan pendidikan Indonesia memacu kemajuan bangsa dan negara, seperti di banyak negara, sering dipertanyakan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 November 2015, di halaman 6 dengan judul "Pendidikan Menyesatkan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger