Pemerintah Kota Bogor tengah menyiapkan peraturan baru tentang kewajiban pengusahaan angkutan kota dengan badan hukum. Saya mohon Menteri Perhubungan dan Wali Kota Bogor mempertimbangkan lagi peraturan tersebut karena hanya akan menambah beban para pemilik angkot.
Menurut rencana, mulai 2016, semua pengusahaan angkot harus berbadan hukum dalam bentuk koperasi atau perseroan terbatas (PT). Katanya, hal ini merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009.
Kenapa UU yang sudah berumur enam tahun itu baru akan diterapkan sekarang? Jika pengoperasian angkot kami dikelola dengan badan hukum, artinya surat-surat kendaraan, seperti BPKB, STNK, izin usaha, dan izin trayek, yang sudah dimiliki harus dibalik nama menjadi milik badan hukum yang baru didirikan. Apakah hal ini tidak menimbulkan persoalan hukum baru?
Dengan berbagai peraturan dan kewajiban yang sekarang sudah berlaku saja, kehidupan saya sebagai seorang pensiunan yang berjuang untuk membeli angkot dengan cara mencicil bertahun-tahun tidaklah mudah. Saya sangat keberatan jika angkot yang telah dimiliki secara susah payah harus dibalik nama ke koperasi atau PT, yang berarti angkot tersebut bukan lagi milik saya.
Beban biaya operasional juga akan makin berat karena peraturan ini akan diikuti dengan kewajiban membayar berbagai iuran, mulai dari iuran pokok, simpanan wajib, sampai iuran kartu anggota, yang keseluruhannya mencapai Rp 225.000 per bulan.
Mengingat situasi ekonomi yang sedang sulit sekarang, saya sangat keberatan atas rencana pemberlakuan peraturan perundang-undangan itu.
YULIA, PASIR MULYA, BOGOR
Tes CPNS Depok
Saya adalah calon pegawai negeri sipil di Pemerintah Kota Depok. Setelah belasan tahun jadi tenaga honorer, pada 2013, saya dan lebih dari 200 tenaga honorer lain lolos tes seleksi CPNS yang diadakan Pemerintah Kota Depok.
Begitu lulus tes, honorarium di tempat kami bekerja otomatis dihentikan. Oleh Pemkot Depok, dalam hal ini Kepala Badan Kepegawaian Depok Sri Utomo, dijanjikan bahwa gaji kami akan dirapel sesuai terhitung mulai tanggal (TMT) masing-masing. Dalam hal ini, TMT kami 2014. Artinya, gaji yang belum dibayar hingga November ini sekitar setahun!
Mengapa gaji kami Oktober lalu sudah keluar, tetapi gaji yang satu tahun masih tertahan? Kami sebagai pegawai golongan bawah ingin menanyakan hak kami setelah kami melaksanakan kewajiban dengan penuh dedikasi.
Saya punya keluarga dengan dua anak yang harus dinafkahi. Apakah begini cara Pemkot Depok memperlakukan pegawainya? Bagaimana pemerintah sanggup menyejahterakan masyarakat jika mengurus pegawai rendah saja tidak bisa.
Semoga Bapak Menteri Dalam Negeri dan pihak-pihak terkait mendengar jeritan hati kami.
AGUS WAHYUDIN, GANG BINANGKIT RT 001 RW 001, CURUG, CIMANGGIS, DEPOK
Beda di Kuitansi
Selasa (10/11) kira-kira pukul 17.30, saya mengantar ibu saya, Suyatmi, ke Klinik Yadika, Tegal Alur, Jakarta Barat. Ia didiagnosis sakit lambung akibat lambung sudah tipis.
Karena merasa sesak napas, setelah diperiksa dokter, ibu dimasukkan ke unit gawat darurat (UGD) dan diberi oksigen selama 30 menit. Ia juga diinfus dan diberi obat oleh suster. Saya selalu melihat obat yang suster berikan, baik yang diminum maupun yang disuntikkan ke cairan infus.
Esoknya, sekitar pukul 08.30, setelah kakak dan adik saya membayar biaya pengobatan, ibu pulang. Namun, sesampai di rumah, kakak saya heran karena biaya pengobatan yang tertera dalam kuitansi klinik relatif besar, yakni Rp 1,1 juta.
Adik saya kemudian meminta pihak klinik untuk memberikan rincian obat yang telah diberikan kepada ibu kami, tetapi permintaan itu tidak langsung dipenuhi. Baru setelah saya marah, mereka memberikan daftarnya. Ternyata jumlahnya tidak sesuai dengan yang ada di kuitansi.
ASRI SUNAMY, TEGAL ALUR, KALIDERES, JAKARTA BARAT
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Desember 2015, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar