Kesaksian politisi Partai Golkar dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur ini penting untuk mengungkap dugaan percaloan dalam perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Sebagaimana kesaksian Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said serta Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin yang terbuka, kesaksian Novanto hendaknya terbuka.
Bagi Novanto, persidangan etika Senin ini adalah persidangan kedua kalinya. Sebelumnya, Novanto diadukan sejumlah anggota DPR ke MKD ketika bertemu dengan Donald Trumps. Namun, kala itu pemeriksaan Novanto oleh MKD tidak diketahui publik. Tiba-tiba pemeriksaan selesai dan MKD menegur Novanto.
Dua kali persidangan dan pemutaran rekaman yang disiarkan televisi membuat sejumlah tokoh punya gambaran soal pelanggaran etika yang dilakukan Novanto. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Assidhiqie dan Mahfud MD menilai Novanto melanggar etika. Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menganggap Novanto tak pantas menyandang sebutan sebagai wakil rakyat. Sejumlah aktivis anti korupsi menyerukan Novanto mundur sebagai Ketua DPR. Pilihan mundur itu pilihan politik yang masuk akal meski sebenarnya terlambat.
Seruan sejumlah tokoh itu tergantung pada Novanto. Tergantung pada nilai yang dianut Novanto sendiri. Selama ini, Novanto dan pendukungnya merasa tidak bersalah atas apa yang dilakukannya itu. Kini publik akan menyaksikan bagaimana Novanto dan Muhammad Riza Chalid—yang belum diketahui keberadaannya—menjelaskan pertemuan.
Pertanyaan yang harus dijawab Novanto dan Riza adalah benarkah dia menginisiasi pertemuan membicarakan soal Freeport? Mengapa Novanto harus mengajak Riza, pengusaha minyak, yang mengundang kecurigaan Maroef. Bukankah lebih elegan sebagai Ketua DPR Novanto mengajak pimpinan DPR lainnya atau setidaknya komisi yang membidangi masalah pertambangan. Lalu, bagaimana pula Novanto menjelaskan percakapannya dengan Maroef dan Riza soal jaringan kekuasaan yang dimiliki Novanto.
Persidangan terbuka ini penting untuk menguji taji MKD. Kalau dalam dua persidangan MKD justru menempatkan pengadu Sudirman dan Maroef sebagai "tersangka", publik juga ingin tahu bagaimana sikap anggota MKD. Apakah "Yang Mulia" punya taji memeriksa Novanto atau MKD telah berubah menjadi "Mitra Ketua Dewan". Inilah ujian bagi MKD dan Novanto sendiri.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Desember 2015, di halaman 6 dengan judul "Menanti Kesaksian Novanto".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar