Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 03 Februari 2016

TAJUK RENCANA: DBD dan Kewaspadaan Kita (Kompas)

Indonesia rentan terhadap serangan penyakit. Dengan perubahan iklim, wawasan kita mengenai virus, penyakit, dan penyebarannya perlu disegarkan.

Perihal rentannya Indonesia terhadap serangan virus kita baca di harian ini pada Senin (1/2). Banyaknya pelabuhan dan titik masuk ke Kepulauan Nusantara yang berada di wilayah tropis adalah potensi bagi terjadinya ledakan kasus zoonosis atau penyakit bersumber binatang, ujar Deputi Direktur Lembaga Eijkman Herawati Sudoyo.

Terkait dengan virus ini, yang terakhir, adalah ditemukannya virus Zika di Jambi pada 2015. Selain itu, ada beberapa virus lain yang belum terpetakan sebarannya.

Kemarin, kita juga membaca berita utama harian ini yang melaporkan serangan demam berdarah dengue (DBD) di Tanah Air, seperti di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten. Sering kita merenung, mengapa kita harus melalui pengulangan "serangan" penyakit ini setiap tahunnya?

Dari infografis yang menyertai beritaKompas, tampak angka kasus pada 2014 lebih rendah dibandingkan pada 2009 dan 2010. Kita membutuhkan angka tahun 2015 untuk melihat tren mutakhir tentang penyakit ini. Untuk tahun 2016, kejadian disebut cenderung meningkat.

Jika pengalaman menjadi acuan, dan merebaknya kasus atau Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD dipercayai pada bulan Maret, tingginya korban DBD pada Januari memberi kita cukup alasan untuk meningkatkan kewaspadaan.

Kita hargai upaya Kementerian Kesehatan yang sejak Oktober 2015 sudah mengirimkan surat edaran kewaspadaan KLB DBD ke kepala daerah. Seperti disampaikan Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Mohamad Subuh, diharapkan daerah siap mengantisipasi dan menghindari KLB. Peringatan itu ada dasarnya. Setiap tahun, dalam lima tahun terakhir, di Indonesia terjadi 4- 103 KLB di daerah dengan 630-8.056 kematian. Tahun 2015, ada 162 kabupaten/kota melaporkan KLB DBD.

Mengapa masih ada KLB DBD? Hal itu disebut karena masih ada lingkungan yang kondusif bagi tempat perindukan nyamuk, kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pemberantasan sarang nyamuk, perluasan daerah endemik akibat pembangunan dan aktivitas manusia, serta mobilisasi penduduk.

Kita menyadari, pertarungan manusia dengan binatang penyebab penyakit akan terus berlangsung. Secara dialektik, tantangan alam ini sudah direspons oleh manusia dengan pengetahuan dan kecerdasan, tetapi belum merata hasilnya. Itulah tugas yang masih harus kita giatkan.

Mau tidak mau, sosialisasi tentang DBD masih harus kita gencarkan. Kita juga awas terhadap perubahan musim yang membuat irama hidup nyamuk Aedes aegypti berpotensi berubah. Selain pemerintah, masyarakat harus ikut menanggulangi DBD, dan untuk itu terus diberdayakan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul "DBD dan Kewaspadaan Kita".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

1 komentar:

Powered By Blogger