Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 04 Februari 2016

Tantangan Perluasan BPJS (REKSON SILABAN)

Awal 2016 akan terjadi pergantian manajemen BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Dewan direksi dan pengawas baru nantinya akan menjalankan misi yang sangat besar.

Untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, sesuai peta jalan  UU No 40/2004,  pada 2019 seluruh pekerja formal harus jadi  peserta BPJS. Dalam PP No 45/2015 tentang Penyelenggaraan Program Pensiun, tahun 2018 harus dirumuskan ulang besaran pensiun yang saat ini sementara dipatok 3 persen.

Empat tantangan

Tugas INI BUKANLAH TUGAS YANG MUDAH DIREALISASIKAN,   DENGAN TANTANGAN BERIKUT. PERTAMA, PEKERJA YANG SUDAH IKUT PESERTA BPJS  KETENAGAKERJAAN SAMPAI AGUSTUS 2015 MASIH 17,2 JUTA ORANG, DARI 48 JUTA PEKERJA FORMAL SAAT INI. BERARTI ADA SEKITAR 21 JUTA PESERTA BARU YANG HARUS DIREKRUT DALAM EMPAT TAHUN KE DEPAN. SEBUAH TARGET YANG FANTASTIS MENGINGAT PENGALAMAN PT JAMSOSTEK SELAMA INI, JUMLAH PESERTA BARU YANG BISA DIREKRUT HANYA DIKISARAN 4 JUTA-5 JUTA ORANG PER TAHUN.

Kedua, mayoritas (64%) pekerja Indonesia di sektor informal.  Sebanyak 35% mereka ini berada di desa. Kondisi ini  akan jadi tantangan besar buat BPJS merekrut peserta. Sejak dulu, lembaga jaminan sosial tenaga kerja beroperasi di sektor formal  perkotaan sehingga tak punya pengalaman dan jaringan institusi beroperasi di wilayah pedesaan. Biaya perekrutan pasti tinggi karena sektor pertanian berada di lokasi yang relatif jauh dari kantor-kantor pelayanan BPJS. Namun karena hak  jaminan sosial adalah amanat konstitusi, UUD 1945, manajemen BPJS harus mencari upaya untuk menjangkau mereka.

Diperlukan sebuah strategi  baru, misalnya melalui kerja sama dengan komunitas desa, atau bekerja sama dengan  pemerintah daerah. Perekrutan peserta sebaiknya dimulai dari tokoh dan pemuka desa yang memiliki kemampuan iuran. Selanjutnya dikembangkan menjangkau seluruh pekerja. Sebab, pada dasarnya tidak semua penduduk desa  miskin.  Studi yang pernah dilakukan kantor ILO (Organisasi Buruh Internasional) Jakarta, beberapa tahun lalu, ditemukan fakta bahwa hambatan dana bukanlah isu utama yang membuat pekerja informal tidak tertarik masuk program jaminan sosial (Jamsostek), tetapi masalah kurangnya kesadaran akibat sosialisasi yang minim. Penelitian itu menemukan pekerja informal memiliki kesanggupan untuk mengikuti dua program jaminan sosial, yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM).

Untuk mengurangi biaya operasional BPJS akibat jarak yang jauh, BPJS dapat bekerja sama dengan melatih aparat kantor kepala desa untuk membantu perekrutan peserta,  sosialisasi  program, mekanisme klaim, dan hal teknis lainnya. Sementara untuk urusan penyetoran iuran BPJS bisa bekerja sama dengan bank lokal atau bank nasional yang selama ini sudah beroperasi sampai ke desa.

Tantangan ketiga, eskalasi masif pekerja kontrak dan alih daya.  Ini jadi ancaman serius untuk jaminan pensiun dan jaminan hari tua. UU No 24/2011 Pasal 2 mengamanatkan, jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Amanat ini  akan sulit dicapai bila pemerintah membiarkan berlanjutnya penyimpangan hukum ketenagakerjaan dan meluasnya pekerja kontrak dan alih daya.

Masa kerja pendek dan hubungan kerja yang tidak jelas menjadikan mereka tidak  memiliki kesempatan mengiur sebagai peserta jaminan sosial dalam jangka panjang. Akibatnya, akumulasi dana jaminan hari tua (JHT) dan pensiun mereka nantinya tidak cukup membuat mereka hidup layak setelah pensiun. Dengan sistem pasar kerja liberal saat ini, bisa dipastikan mayoritas pekerja Indonesia tidak bisa memenuhi kepesertaan aktif iuran 15 tahun untuk mendapatkan jaminan pensiun, sesuai diamanatkan UU BPJS (UU No 24/2011).

Hal ini diperburuk dengan munculnya aturan baru yang mengizinkan pengambilan JHT setiap waktu tanpa menunggu hari tua. Semakin besar jumlah pekerja kontrak berarti akan sedikit pekerja yang memberikan kontribusi iuran secara berkesinambungan. Efek domino yang terjadi adalah menjauhkan peserta mendapatkan hidup layak di masa tua, mengganggu likuiditas dan solvabilitas BPJS; selanjutnya, pertumbuhan akumulasi dana BPJS yang kecil dan lambat menghilangkan potensi BPJS menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Keempat, mayoritas perusahaan atau badan usaha di Indonesia adalah usaha mikro dan usaha kecil. Data BPS tahun 2012 menyebutkan, usaha mikro 55.856.176, usaha kecil 629.418, usaha menengah 48.997, sementara usaha besar hanya 4.968. Pekerja sektor mikro dan kecil menguasai proporsi jumlah pekerja dengan angka berikut: mikro 99.859.517 pekerja; usaha kecil 4.535.970, usaha sedang 3.262.023, dan usaha besar 3.150.645 orang. Biasanya. sasaran prioritas BPJS atau (PT Jamsostek di masa lalu) adalah perusahaan sedang dan besar, mungkin karena prioritas utama saat itu adalah efisiensi biaya ketimbang perluasan kepesertaan. Puluhan tahun  sektor mikro dan usaha kecil seperti dibebaskan untuk tidak perlu ikut program jaminan sosial.

Namun, dengan perubahan bentuk kelembagaan jaminan sosial menjadi badan publik dengan prinsip nirlaba, ditambah ada sanksi yang jelas kepada peserta yang melanggar, maka strategi BPJS ke depan harus menjangkau sektor mikro dan kecil ini. Untuk kemudahan identifikasi sektor ini, BPJS bisa  melakukan kerja sama dengan beberapa institusi terkait lain. Untuk mendapatkan data keberadaan dan pengurus, alamat dan pemilik usaha, BPJS bisa bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan HAM. Untuk mendapatkan keterangan wajib pajak, bisa bekerja sama dengan kantor pajak. Atau bisa juga bekerja sama dengan perbankan untuk mengetahui kemampuan iuran badan usaha. Untuk menciptakan kesinambungan program, upaya perluasan kepesertaan dari sektor mikro dan kecil sebaiknya dengan upaya kesadaran, imbauan, dan pembinaan sebelum melakukan tindakan represi sanksi hukum.

Kerja sama dengan konstituen 

Mempercepat perluasan kepesertaan jaminan sosial harus melalui kerja sama dengan konstituen BPJS Ketenagakerjaan. Pertama dan utama dimulai dari pemerintah, khususnya Kementerian Tenaga Kerja dan pemerintah daerah, selanjutnya diikuti asosiasi pengusaha, serikat pekerja, dan komunitas sosial. Kemenaker perlu memperkuat pengawasan atas kepatuhan pembayaran jaminan sosial buruh. Pengawasan tak harus  dengan pendekatan represi hukum, dengan menyebarkan ancaman pidana, tetapi mengutamakan pendekatan persuasif, penyadaran, dan promosi (reward).

Pengusaha harus disadarkan bahwa hak pekerja memperoleh jaminan sosial bukanlah pemborosan biaya. Sebaliknya, sesuai pengalaman terbaik internasional, negara yang memiliki perlindungan jaminan sosial yang baik akan menaikkan  produktivitas pekerja, sekaligus mencegah perusahaan mengalokasikan biaya lebih tinggi apabila membayar sendiri ganti rugi ke pekerja. Sementara serikat pekerja membantu peningkatan kepesertaan jaminan sosial dengan cara sosialisasi, membuat kesepakatan dalam perjanjian kerja bersama (PKB), dan membantu melaporkan pengusaha yang belum mematuhi UU.

Selama ini banyak perusahaan yang tak mematuhi ketentuan UU mungkin akibat lemahnya pengawasan, lemahnya sanksi, masih rendahnya kepatuhan hukum dan kesadaran akan manfaat jaminan sosial. Modus yang populer selama ini digunakan adalah dengan hanya mendaftarkan sebagian pekerjanya atau membayar iuran, tetapi tidak  sesuai ketentuan aturan perundangan. Tujuannya, untuk mengurangi beban keuangan perusahaan, tetapi juga merugikan pekerja. Untuk mencegah praktik ini, perlu ada terobosan hukum yang memungkinkan adanya pemutihan pembayaran iuran jaminan sosial pekerja di masa lalu yang tidak benar, yakni dengan membuka kesempatan melakukan pembenahan administrasi dalam rentang waktu misalnya 6 bulan. Ini meniru kebijakan pemutihan pembayaran pajak yang saat ini dilakukan kantor pajak.

Dengan perubahan badan hukum dari BUMN ke badan publik, manajemen BPJS baru  memerlukan kultur pelayanan yang berbeda. Yang utama dilayani dan dipuaskan adalah peserta, bukan pejabat BUMN. Beberapa penyesuaian yang harus dilakukan seperti mengubah kultur seorang pejabat jadi pelayan peserta. Maksudnya, seluruh pejabat dan karyawan BPJS harus menyadari karier dan keberlanjutan jaminan sosial tidak lagi tergantung dari back up pemerintah, tetapi  karena bermanfaat buat peserta. Pertumbuhan peserta bukan akibat adanya sanksi hukum, tetapi adanya kesadaran peserta atas manfaat sebagai peserta. Untuk mencapai ini, diperlukan perbaikan manfaat yang diterima peserta setiap waktu, baik manfaat pertambahan santunan, pelayanan, maupun imbal hasil investasi. Dengan perbaikan secara terus-menerus akan manfaat ini, akan mengikat peserta  untuk terus bertahan terus jadi peserta. BPJS dapat melengkapi strategi ini dengan secara aktif mengampanyekan manfaat jaminan sosial dengan konsep story telling: memaparkan cerita nyata peserta yang beruntung telah menjadi peserta jaminan sosial.

Dengan adanya amanat UU bahwa tahun 2019 seluruh pekerja formal harus jadi peserta BPJS Ketenagakerjaan, maka pola, strategi perekrutan peserta baru harus diubah dari yang selama ini mengandalkan karyawan BPJS  dan dinas tenaga kerja ke pelibatan  konstituen, baik tripartit (pemerintah, pengusaha, serikat pekerja) dan organisasi-organisasi massa besar keagamaan, perempuan, kaum muda, komunitas hobi, dan komunitas media sosial. BPJS perlu membuat struktur baru untuk menjangkau setiap target ini.

Struktur tidak usah bersifat permanen supaya mudah mengadakan  penyesuaian atas kondisi yang berubah.  Untuk mempercepat pencapaian kepesertaan penuh (pekerja formal), perlu dijajaki merekrut karyawan /pekerja lepas. Mekanisme hubungan kerja dan renumerasi bisa diciptakan dengan meniru apa yang selama ini sudah berhasil dilakukan pada asuransi swasta, sekalipun diperlukan adaptasi untuk BPJS. Akan tetapi, yang terpenting diingat, sasaran dan target capaian untuk memasukkan seluruh pekerja (formal ataupun informal) tidak bisa dicapai apabila hanya mengandalkan struktur BPJS sendiri. Harus dilakukan melalui kerja sama dengan seluruh konstituen terkait.

Dalam rangka membuka akses ke seluruh rakyat, perlu dikaji ulang struktur dan penempatan kantor-kantor pelayanan BPJS. Seluruh kantor pelayanan BPJS saat ini (121 kantor) hanya berpusat di daerah perkotaan sehingga secara teknis menyulitkan peserta dari kawasan desa untuk bergabung. Jumlah kabupaten dan kota saja di Indonesia sebanyak  514 daerah. Itu berarti hanya sepertiga daerah yang memiliki akses langsung ke kantor BPJS Ketenagakerjaan. Untuk merealisasikan amanat ini, harus diberikan kemudahan kepada calon peserta untuk mendatangi kantor pelayanan BPJS, baik untuk kebutuhan informasi maupun kebutuhan untuk aplikasi dan klaim. Untuk menyiasati biaya operasional bisa dicarikan solusi kreatif, baik lewat kerja sama dengan pihak lain maupun melalui alih daya.

REKSON SILABAN

DIREKTUR INDONESIA LABOR INSTITUTE

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Februari 2016, di halaman 6 dengan judul "Tantangan Perluasan BPJS".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

1 komentar:

Powered By Blogger