Sudah dapat diduga, peringkat lima besar secara berturut-turut diduduki Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Tak ada yang aneh!
Di level internasional, Times Higher Education juga memublikasi World University Rankings 2015-2016.Indonesia hanya berhasil menempatkan satu perguruan tinggi negeri (PTN): UI di urutan ke-601-800. PTN kuat lain, seperti ITB, IPB, dan UGM, tak termasuk dalam daftar itu.
Untuk level Asia Tenggara, National University of Singapore (NUS) dan Nanyang Technological University—keduanya dari Singapura—menduduki peringkat ke-1 dan ke-2. Malaysia menempatkan lima universitasnya (di peringkat ke-3, 5, 7, 8, dan ke-9), Thailand diwakili dua universitas (urutan ke-4 dan ke-6), dan Filipina satu universitas (posisi ke-10). Indonesia? Tak ada di posisi 10 besar. UI hanya menduduki tempat ke-11.
Jago kandang
Saya mengamati bahwa PTN kuat kita hanya mampu bertarung dan memenangi pertempuran di dalam negeri dengan mengalahkan PTN lemah. Dalam bahasa persepakbolaan kita: mereka jago kandang.Padahal, kebijakan pendidikan tinggi di negara kita sangat menguntungkan PTN kuat ini. Alasannya sering dibuat sangat rasional: akreditasi mereka yang tinggi dan pengalaman mereka yang hebat. Akibatnya, hampir semua fasilitas disapu bersih oleh PTN kuat.
Dengan menyedot dana bantuan operasional yang sangat tinggi, dengan merekrut para calon mahasiswa kelas satu dari berbagai daerah di Tanah Air, dengan jejaring yang mereka punyai, serta alumni yang bekerja di lingkungan swasta dan negeri yang mereka miliki, seharusnya PTN kuat bisa berjaya, paling tidak di level Asia Tenggara.
Dengan rekor-rekor yang makin terpuruk itu, klaim PTN kuat untuk menyapu bersih semua fasilitas di negeri ini tak selayaknya dipertahankan lagi. Tak cukup alasan kuat memberi perlakuan khusus buat mereka.
Akreditasi dan peringkat yang tinggi di dalam negeri, suatu hal yang pantas mereka dapatkan. Tak ada yang aneh. Dengan kualitas tinggi dari mahasiswa yang masuk serta fasilitas VIP dan VVIP lain yang mereka dapatkan, sudah sangat wajar mereka beroleh akreditasi dan peringkat yang tinggi di dalam negeri.
Dan, pengalaman pun tak bisa lagi dijadikan acuan sebab kalau pengalaman pada masa lalu yang dijadikan acuan, justru acuan ini bisa menjadi bumerang bagi PTN kuat. PTN kuat telah menunjukkan pengalaman buruk dan gagal dalam melaksanakan kegiatan pendidikan dan risetnya. Ini terbukti: PTN kuat kita tak bisa berbuat banyak, bahkan untuk level Asia Tenggara pun.
Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila yang mengakui keberadaan Tuhan, yang berperikemanusiaan, yang adil dan beradab, dan ingin mempertahankan persatuan Indonesia, sudah tak pantas lagi kita mempertahankan kebijakan pendidikan selama ini: kebijakan yang membuat jurang kualitas antara PTN kuat dan PTN lemah di daerah yang semakin dalam.
Saya melihat strategi pengembangan pendidikan di Indonesia telah salah arah. Kita membiarkan pertarungan tak seimbang antara PTN kuat dan PTN lemah. Pertarungan yang tak manusiawi ini harus dihentikan karena hanya menciptakan kebanggaan semu bagi para PTN kuat dan menciptakan mentalitas inferior bagi PTN lemah. Tak ada yang diuntungkan. Seluruh komponen bangsa turut merugi. Karena itu, seluruh komponen negara ini harus bahu-membahu menyejajarkan mutu PTN di seluruh Indonesia. Untuk itu, terlebih dulu isu ini harus dianggap sangat penting. Sama penting, misalnya, dengan isu korupsi. Karena itu, perlu ada gerakan besar-besaran untuk mengontrol mutu pendidikan di seluruh Indonesia.
Dua hal mendesak
Hal pertama yang paling mendesak dilakukan adalah mekanisme perekrutan pengajar. Untuk sementara ini saya melihat infrastruktur di PTN daerah bukan faktor utama yang menghambat kemajuannya, melainkan kualitas pengajar merupakan masalah yang sangat vital yang harus jadi perhatian kita semua.
Selama ini, perekrutan pengajar dilakukan seperti kegiatan rutin saja. Tak serius. Padahal, pada titik inilah nasib sebuah PTN dipertaruhkan. Karena itu, harus ada target pemerintah dan para rektor PTN lemah di daerah menyamaratakan kualitas antara pengajar di PTN lemah dan kuat. Untuk itu, pemerintah harus berusaha merekrut dengan sengaja dan sungguh-sungguh para pemuda-pemudi hebat dari seluruh Indonesia dan ditempatkan di berbagai PTN di daerah.
Program penyamarataan kualitas pengajar ini mungkin tak bisa berlangsung cepat. Kalau kita rekrut kandidat yang baru lulus S-1, perlu waktu 5-7 tahun menunggu mereka sampai tamat S-3. Kalau program ini bisa berjalan sukses, maka di berbagai fakultas pada PTN di seluruh negeri ini kita akan mempunyai pengajar yang relatif selevel.
Kedua, karena mutu perguruan tinggi ditentukan juga oleh kualitas input dari mahasiswa yang masuk, maka kualitas mahasiswa yang masuk pun harus menjadi pertimbangan pemerintah. Ini artinya, mutu pendidikan dasar dan menengah di seluruh negeri ini harus disamaratakan juga kualitasnya.
Sama halnya dengan pendidikan tinggi, saya menilai faktor kualitas guru yang menjadi faktor dominan sebuah sekolah akan hebat atau sebaliknya. Bukan masalah infrastruktur atau kurikulum yang menjadi faktor utama. Di sini pun pemerintah harus turun tangan membenahi masalah kompetensi guru.
Pemerintah pusat dan daerah sebaiknya fokus membelanjakan dana untuk merekrut guru dengan kompetensi yang tinggi sekali. Ke depan, tidak boleh lagi ada guru yang salah rekrut karena kompetensinya yang kurang atau sedang-sedang saja. Banyak anak bangsa ini yang kualitasnya hebat, tetapi tidak punya akses bisa jadi guru. Akses harus dibuka seluas-luasnya dengan saringan yang seketat-ketatnya untuk mencari guru yang terbaik.
Masalah kompetensi ini harus dipantau terus-menerus. Keberadaan guru yang kompetensinya rendah akan berbahaya. Mengapa? Sebab murid yang dihadapi di dalam kelas tidak akan dapat mengontrol guru di dalam kelas atau memberifeedback, umpan balik, mengingat umur dan ilmu mereka belum cukup.
Saya kira kalau pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla fokus terhadap dua masalah ini saja, yaitu penyamarataan kualitas guru dan dosen di seluruh negeri ini, banyak masalah pendidikan di negeri ini terselesaikan. Termasuk cita ke-3 dari Nawacita: "Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangk negara kesatuan".
Menguatnya kualitas pendidikan dasar dan menengah akan menguatkan mutu pendidikan tinggi. Menguatnya kualitas dosen di PTN lemah akan membuat dunia PTN di Indonesia menjadi lebih semarak. Dan, pada gilirannya, tentu saja akan ikut meningkatkan mutu PTN kuat di Indonesia juga karena PTN kuat akan memperoleh kawan tanding atausparring partners yang memadai.
SYAMSUL RIZAL, GURU BESAR UNIVERSITAS SYIAH KUALA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Maret 2016, di halaman 7 dengan judul "Meningkatkan Mutu Pendidikan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar