Tiada kebijakan pemerintah yang tak melibatkan perhatian, kesibukan, dan emosi banyak pihak, seperti kebijakan pendidikan nasional. Kebijakan ujian nasional (UN) ibarat "menu penutup" tahun ajaran dan kerepotan penerimaan murid baru sebagai "menu pembuka".
Dengan keputusan Presiden Joko Widodo itu, orangtua, sekolah, guru, dan peserta didik yang tahun ini jumlahnya sekitar 8,5 juta terbebas dari kebingungan. Bagi mereka, membalikkan perhatian dan emosi dari UN jalan terus ke moratorium UN secara mendadak, tinggal empat bulan, tak semudah yang dialami birokrat kementerian atau ahli pendidikan.
UN telanjur salah kaprah, yang salah dianggap benar. Padahal, dengan kondisi kemajemukan, apalagi dengan satuan pendidikan (sekolah) yang beragam, UN tidak layak secara konseptual sebagai alat ukur yang memvonis keberhasilan dan kegagalan proses pendidikan. Sebagai pemetaan oke, tetapi begitu dikaitkan dengan nasib peserta didik, maksud baik serba nasional, termasuk menjadi pemersatu keindonesiaan, pun gagal.
Paradigma kebijakan UN yang pragmatis di lapangan tercampur aduk dengan evaluasi proses pendidikan. Ahli pendidikan benar. Evaluasi pendidikan harus dilakukan, dan sudah ditabalkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tetapi bukan dengan standardisasi sejumlah mata pelajaran secara nasional. Merujuk pada cara berpikir pragmatis kita, UN dalam konteks minimum standardisasi kurikulum bisa dijadikan salah satu parameter evaluasi pendidikan.
Hasil UN bisa dijadikan pelengkap hasil evaluasi terstruktur guru dan sekolah. UN tak digelar di setiap akhir tahun ajaran, tetapi in between, tak berdampak ke individu peserta didik, tetapi pada perbaikan mutu praksis pendidikan. Hasil UN dan evaluasi rutin yang dilakukan sekolah dan guru jadi kesatuan evaluasi Badan Standar Nasional Pendidikan, selain untuk pemetaan juga perbaikan mutu.
UN sebagai salah satu parameter evaluasi, dengan berbagai kekurangannya dari sisi logika praksis pendidikan, tentu menjadi bagian dari pengkajian eksistensi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tempatkan kepentingan orangtua, sekolah, guru, dan peserta didik sebagai rujukan serta pertimbangkan kemajemukan di negeri ini.
Selain membenahi UN sebagai pekerjaan rumah dalam tahun ajaran sesudah 2016/2017, perlu dibenahi pula permasalahan strategis lain, seperti masalah guru, sarana, dan upaya pengembangan karakter peserta didik. Praksis pendidikan adalah humanisasi, bukan dehumanisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar