Perang ideologi antara kapitalisme dan komunisme berakhir dengan kemenangan kapitalisme liberal.
Namun, sejarah mustahil berakhir. Perkiraan bahwa dengan berakhirnya Perang Dingin dunia akan bersandar pada satu ideologi saja, karena sudah tidak ada lagi perang antarideologi yang berlawanan, lalu terdengar ilusionistik. Setelah Perang Dingin dan buku Fukuyama, muncul teori Bentrok Peradaban (Clash of Civilizations) yang digaungkan mantan guru Fukuyama, yakni Samuel Huntington (1992).
Satu lagi yang bisa kita singgung pada saat itu adalah tesis bangkitnya geoekonomi yang menggantikan geopolitik. Salah satu buku yang mengupas soal ini adalah karya Alvin dan Heidi Toffler, War and Antiwar-Survival at the Dawn of 21st Century (1993).
Dalam karya Toffler, dengan latar belakang buku Fukuyama, perang tampak sudah usang. Pikiran orang juga semakin terpaku pada persaingan ekonomi karena dalam benak kaum kapitalis yang ada adalah penumpukan modal dan kekayaan.
Bangsa-bangsa semakin terikat satu sama lain dalam kepentingan ekonomi. Tiongkok memproduksi berbagai produk untuk dijual di Amerika Serikat (AS). Dengan itu, Tiongkok sangat bergantung pada pasar AS.
Hal yang sama terjadi pada AS, yang masih membutuhkan pasar Tiongkok untuk menjual produk industri teknologi tinggi, seperti pesawat terbang dan elektronik komersial, mulai dari gawai hingga komputer.
Dalam perspektif itu, sulit membayangkan kedua bangsa meriskir perang, atau setidaknya konflik panas. Ketika kepentingan ekonomi sudah demikian tinggi, perang terdengar menjadi antitesis.
Menyimak terbitnya laporan tahunan Departemen Pertahanan AS untuk Kongres, Jumat pekan lalu, yang antara lain menyebut Beijing telah menggunakan "taktik mengancam", dan membangun infrastruktur di wilayah yang dipersengketakan di Kepulauan Spratly, tampak jelas, bahwa AS melihat Tiongkok semakin menguatkan kehadiran, tidak saja di Laut Tiongkok Selatan, tetapi juga di Timur, dan bahkan di wilayah jauh, seperti di Afrika.
Tiongkok pun bereaksi sengit atas terbitnya laporan di atas. Mereka juga menuduh AS selalu curiga dan melebarkan kekuatan militer dengan mengirim pesawat dan kapal perang di kawasan.
Menyimak silang pernyataan yang ada, kita berkesimpulan bahwa baik AS maupun Tiongkok dewasa ini sudah tidak saling percaya. Kita mengkhawatirkan, dengan peningkatan kekuatan, gesekan panas, satu saat bentrok di antara keduanya sulit dihindarkan. Ini mencemaskan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Mei 2016, di halaman 6 dengan judul "AS-Tiongkok Saling Tidak Percaya".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar