Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 18 Juli 2016

Brexit, Pelajaran untuk ASEAN (ANDREW W MANTONG)

Dalam sebuah referendum pada 23 Juni 2016, rakyat Inggris memutuskan untuk meninggalkan Uni Eropa. Statistik menyatakan bahwa dukungan terbesar terhadap keputusan meninggalkan Uni Eropa datang dari penduduk berusia lanjut, berpendidikan, dan berpendapatan rendah.

Pilihan keluar adalah pilihan yang lebih banyak didominasi oleh pertimbangan emosional, ketimbang memperhatikan fakta-fakta dan kemungkinan strategis yang akan muncul. Kekhawatiran dan ketakutan memberikan penguatan terhadap rasa nasionalisme yang janggal yang membuat orang-orang ini tidak lagi percaya kepada mekanisme supranasional.

Kegagalan mengelola

globalisasi?

Fenomena keluarnya Inggris dari keanggotaan UE (Britain Exit/Brexit) tidak bisa dilepaskan dari tren global yang paralel dengan kemunculan kandidat presiden Partai Republik di Amerika Serikat, Donald Trump, dan kekuatan-kekuatan politik pronasionalis di berbagai negara di Eropa. Hal ini bukanlah tanpa preseden. Frustrasi bangsa Eropa terhadap kegagalan multikulturalisme di tengah banjirnya aliran pengungsi telah membuat mereka mencoba menegaskan munculnya semacam identitas nasional, budaya sipil berbasis nilai-nilai liberal. Sayangnya, hal ini ternyata tidak berhenti di situ.

Kasus Brexit menunjukkan bahwa basis-basis modern yang memungkinkan orang membangun solidaritas dengan visi bersama, alih-alih tradisi, tengah melemah. Perdagangan barang dan produk yang berlangsung dapat diterima sebagai keniscayaan, tetapi tidak demikian halnya dengan pergerakan manusia. Bila globalisasi manusia berlangsung tanpa ada kesempatan-kesempatan dan insentif untuk berkoordinasi, masalah seperti jati diri, kelanggengan cara hidup, sampai ketakutan terhadap nilai-nilai asing yang dibawa oleh pendatang dalam situasi krisis akan menjadi masalah karena dalam situasi tidak menentu banyak orang cenderung akan melihat kepada sejarah masing-masing untuk mencari pegangan.

Austerity, masalah Yunani, sampai Ukraina membuat supranasionalitas UE semakin dilihat sebagai bagian dari masalah. Mereka mempertanyakan legitimasi UE, fenomena yang dikenal dengan defisit demokrasi. Mereka juga menilai bahwa keberadaan UE yang kuat berarti migran yang tidak terkontrol, hilangnya pekerjaan, serta melemahnya jaminan sosial. Sementara itu, otoritas supranasional UE mengatur kerja sama dengan menerapkan berbagai macam aturan dan prosedur yang terkenal rumit dan banyak.

Fenomena Brexit mengingatkan keterbukaan politik dan ekonomi membutuhkan upaya politik yang konstan untuk menjaga visi bersama. Bagi Jeffry Frieden (2008), kompromi antara globalisme dengan nasionalisme, dan antara reformasi sosial dan pasar, dibutuhkan. Tidak ada suatu resep tunggal untuk mencapainya, tetapi setiap internasionalisasi selalu membutuhkan dukungan politik solid yang terus-menerus diperbarui berdasarkan konsultasi yang intens dengan kelompok-kelompok sosial yang terpengaruh, kompensasi bagi mereka yang dirugikan, intervensi yang tertargetkan dengan baik, serta stabilitas sosial politik yang andal (Frieden, 2008).

Dalam pemahaman ini, Brexit sebetulnya merupakan lanjutan dari kegagalan terciptanya konsensus baru dalam bagaimana mengatur perekonomian dan ketiadaan rezim internasional baru pasca krisis 2008 yang dapat mengoordinasikan kebijakan dan kompromi yang dibutuhkan.

Pelajaran untuk ASEAN

Ketika referendum di Inggris akan berlangsung, banyak pengamat ASEAN membandingkan pengalaman UE dengan pengalaman ASEAN. Mereka percaya kerja sama dalam kerangka ASEAN tidak berlangsung sepesat yang ada di Eropa seiring dengan lemahnya badan supranasional. Kali ini lambannya ASEAN justru dinilai sebagai kekuatan ASEAN. Memang agak sulit membayangkan kejadian, seperti Brexit di ASEAN. Regionalisme yang berlangsung di ASEAN cenderung bersifat elitis.

Di Indonesia sendiri relatif tidak pernah ada elite politik yang secara terbuka berkampanye mencari dukungan politik melawan internasionalisasi karena tidak ada juga mereka yang secara terbuka meyakinkan publik bahwa kesejahteraan Indonesia akan ditentukan oleh semakin lancarnya arus barang, jasa, dan manusia dengan negara-negara tetangga. Meski demikian, kelambanan ini tidak seharusnya membuat ASEAN berpuas diri. ASEAN yang tidak berfungsi pada gilirannya akan kehilangan legitimasi. Dalam kondisi demikian, asistensi pembangunan dan dana-dana investasi segar yang dapat disediakan oleh kekuatan eksternal, seperti Tiongkok dapat melemahkan kesatuan ASEAN.

Pengalaman Eropa menunjukkan bahwa upaya-upaya pengelolaan yang tidak mengindahkan kompromi politik akan cenderung melemahkan internasionalisasi dan membuka ruang bagi politik identitas negatif. Kalangan yang frustrasi dengan UE menilai bahwa lembaga supranasional yang ada cenderung tidak representatif dan birokrasi yang berkembang di level supranasional di luar jangkauan kontrol mereka. Demi mencapai kompromi, politik tidak dapat digantikan oleh prosedur, dan mobilisasi pun tidak bisa dilakukan dengan standardisasi tanpa memperhatikan kompromi, kompensasi, dan intervensi yang cermat.

Aspek kritis bagi ASEAN terletak pada upaya mempromosikan mobilitas serta keterbukaan pasar tenaga kerja. ASEAN harus menyadari bahwa bila orang-orang dari setting budaya yang berbeda dipertemukan tanpa diberikan peluang untuk bekerja sama secara nyata, prasangka dapat muncul. Saat ini ASEAN berupaya mengatasi kondisi regulasi dan standar yang berbeda-beda antarnegara dengan mengembangkan Kerangka Kualifikasi ASEAN. Hal ini kemudian berdampak kepada permintaan untuk menghasilkan kerangka kualifikasi nasional yang kemudian harus diadopsi oleh setiap penyelenggara program studi di universitas. Sementara itu, upaya menciptakan konektivitas antaruniversitas dilakukan dalam bentuk penerapan standardisasi dalam kerangka ASEAN University Network.

Standardisasi dan akreditasi tanpa pendampingan yang baik serta intervensi yang terencana dapat berujung pada semakin banyaknya formulir-formulir yang harus diisi oleh penyelenggara pendidikan yang hanya meningkatkan pekerjaan birokratis tanpa mendatangkan manfaat yang nyata. Negara-negara ASEAN sebaiknya mulai memikirkan cara-cara untuk membuat kerja sama lebih mendatangkan manfaat nyata. Fokus pada pelatihan-pelatihan bersama serta kerja sama penelitian dan publikasi bersama sebetulnya lebih mendatangkan dampak nyata ketimbang mengharap masing-masing pihak di negara anggota memenuhi standar tertentu.

ANDREW W MANTONG, PENELITI CENTRE FOR STRATEGIC AND INTERNATIONAL STUDIES (CSIS); MENGAJAR DI DEPARTEMEN HUBUNGAN INTERNASIONAL FISIP UNIVERSITAS INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Brexit, Pelajaran untuk ASEAN".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger