Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 18 Juli 2016

Memanfaatkan Momentum Fiskal (A PRASETYANTOKO)

Lanskap perekonomian global tengah berubah drastis, pun dengan lanskap peradaban yang sedang mengalami pergeseran serius. Dunia sedang berdialektika menemukan titik keseimbangan baru. Dalam situasi ini, banyak kejadian tak terduga, bagaikan deretan risiko yang berhamburan keluar tak beraturan. Itulah mengapa perekonomian global sering kehilangan momentum pemulihan.

Laporan Risiko Global 2016 terbitan Forum Ekonomi Dunia menunjukkan masalah migrasi sebagai salah satu persoalan paling krusial dengan dampak begitu luas. Dalam peta risiko global, dua faktor penting adalah seberapa besar dampak yang ditimbulkan (impact) serta seberapa besar kemungkinan terjadi (likelihood). Dari dua perspektif ini, ada beberapa masalah krusial selain imigran, di antaranya adalah krisis fiskal, konflik sosial, dan konflik antarnegara.

Berbagai risiko tersebut tak berdiri sendiri, tetapi berkaitan satu sama lain dalam kompleksitas persoalan yang pelik. Fenomena sosial-politik, seperti keluarnya Inggris dari Uni Eropa dan serangan teror di Nice, Perancis, merupakan riak-riak risiko global yang tali-temali antarfaktor secara simultan.

Dalam hal ekonomi, risiko fiskal menjadi persoalan di negara maju. Di negara berkembang seperti kita, konsolidasi sekaligus ekspansi fiskal menjadi sangat menentukan. Konsolidasi terkait isu kualitas, termasuk besaran defisit, sementara ekspansi terkait besaran belanja dan penyerapan. Fiskal kita aman dari sisi konsolidasi, tetapi perlu upaya serius memaksimalkan ekspansi.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak memberi angin segar pada sisi pendapatan fiskal. Namun, belanja belum sesuai dengan target. Padahal, peranan belanja pemerintah dalam transformasi perekonomian begitu menentukan.

Per akhir Mei 2016, penyerapan anggaran kementerian dan lembaga mencapai 22,9 persen, naik dari periode yang sama tahun lalu sebesar 18,8 persen. Namun, kenaikan belanja ini belum maksimal. Pasalnya, tahun lalu masih ada masalah administratif, sementara tahun ini tidak. Dengan lelang proyek sudah dilakukan sejak akhir tahun lalu, penyerapan anggaran mestinya lebih cepat.

Pos anggaran yang penyerapannya paling tinggi adalah belanja pegawai sebesar 34,1 persen pada akhir Mei 2016. Belanja barang tercatat 19,9 persen dan belanja modal 13,5 persen. Belanja modal itu meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun lalu. Namun, angkanya tetap di bawah target banyak kementerian dan lembaga.

Harian Kompas (Senin, 11/7) melaporkan, realisasi penyerapan anggaran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada semester pertama 2016 ini 27,63 persen, dari target 46,49 persen. Padahal, kebutuhan pembangunan prasarana fisik begitu masif.

Jangan puas

Dalam pembangunan prasarana fisik, sikap puas diri menjadi blunder. Pembukaan jalan tol hingga Brebes Timur yang diharapkan memperlancar arus kendaraan pada mudik Lebaran tahun ini justru berdampak sebaliknya. Penyelesaian sepenggal justru menimbulkan kebuntuan di tempat lain.

Dalam transformasi ekonomi, itu bisa menjadi ilustrasi menarik. Walaupun ada perbaikan, sekadar cukup saja ternyata tak lagi mencukupi. Kecepatan dan cakupan transformasi struktur ekonomi harus ditingkatkan. Jika tidak, itu akan menimbulkan kebuntuan di tempat lain. Transformasi ekonomi tak bisa hanya mengandalkan peran pemerintah. Investasi swasta juga sangat ditunggu. Pemerintah menyadarinya, dan kemudian mengeluarkan paket kebijakan ekonomi hingga 12 jilid. Perangkat teknologi digital juga sudah diterapkan untuk mendukung administrasi, baik dalam pengurusan izin maupun dalam pengelolaan fiskal.

Pengadaan e-katalog tadinya diyakini mampu memberi solusi penyerapan anggaran. Faktanya, tak terlalu banyak perubahan. Ternyata, mental birokrasi juga penting diperhatikan. Penyederhanaan aturan bisa sangat artifisial tanpa perubahan tata kelola dan perilaku dalam bekerja.

Arun Sundararajan, profesor Universitas New York, Stern School of Business, dalam bukunya The Sharing Economy(2016) menjelaskan perubahan digital memerlukan penataan ulang kebiasaan hidup sehari-hari. Pernyataan ini sangat relevan dengan kebiasaan lama birokrasi yang memerlukan penataan ulang besar-besaran agar lebih sesuai dengan kelonggaran aturan serta kemajuan dunia digital.

Dalam skala mikro, kegagalan transformasi organisasi sering terjadi karena perlawanan terhadap perubahan itu sendiri. Untuk itu, diperlukan kepemimpinan yang kuat dalam mendorong perubahan. Prinsip ini juga berlaku dalam transformasi perekonomian yang melibatkan deregulasi (sektor swasta) dan penyerapan anggaran (pemerintah).

Dibandingkan negara maju yang terjepit fiskal, ekonomi kita justru tengah menikmati momentum. Kuncinya, birokrasi yang menjalankan pemerintahan mampu menggunakan anggaran secara maksimal dengan tata kelola yang baik. Inilah momentum fiskal yang harus dimaksimalkan dengan pengarusutamaan reformasi birokrasi.

A PRASETYANTOKO, EKONOM DI UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Juli 2016, di halaman 15 dengan judul "Memanfaatkan Momentum Fiskal".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger