Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 19 Juli 2016

Stop Pemberian Gelar Dr HC//Semanggi I-II dan Trisakti (Surat Pembaca Kompas)

Stop Pemberian Gelar Dr HC

Dalam diskursus mengenai perlu-tidaknya mengimpor rektor asing, Daoed Joesoef ikut menyumbang pendapat dalam "Jangan Permainkan Pendidikan" di Kompas (23/6).

Di sana Daoed mengusulkan agar komunitas ilmiah ja- ngan "terombang-ambing jadi permainan komunitas politik dan komunitas bisnis, tereduksi hanya menjadi pemberi gelar Dr HC. Keadaan ini harus distop".

Munculnya hipotesis "keterombang-ambingan" menyiratkan ada gugatan bahwa pemberian gelar Dr HC selama ini lebih banyak merupakan rekayasa politik dan bisnis. Gugatan itu perlu dibuktikan.

Karena Daoed sudah transparan mengungkapkan indikasi nonilmiah pemberian gelar DR HC, pihak pemberi gelar layak diminta mempertanggungjawabkan kepada publik dengan argumentasi ilmiah mengenai pemberian gelar itu. Publik perlu tahu kepantasan dan obyektivitas alasan pemberian demi nama baik para pihak penerima gelar DR HC.

WIM K LIYONO, SURYA BARAT, KEDOYA UTARA, KEBON JERUK, JAKARTA BARAT

Semanggi I-II dan Trisakti

Jaksa Agung HM Prasetyo pada Kompas(2/7) kembali menyatakan bahwa penyelesaian dugaan pelanggaran HAM di masa lalu melalui jalur hukum terkendala pengumpulan bukti. Pernyataan ini mengusik ingatan peristiwa tragis 18 tahun lalu, khususnya dalam Tragedi Semanggi I, 13 November 1998.

Beberapa hari setelah peristiwa itu terjadi, Presiden BJ Habibie mengatakan, "Dalam kerangka ini, kami berjanji akan melakukan pengusutan yang adil, transparan, dan tuntas dengan menegakkan prinsip keadilan dan kesamaan hukum (Kompas, 18/11/1998)."

Pada Maret 2002 Komnas HAM selesai melakukan penyelidikan dalam berkas kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. Hasil penyelidikan sudah disampaikan kepada Kejaksaan Agung dan berkali-kali dikembalikan Kejaksaan Agung dengan berbagai alasan.

Maka, pernyataan jaksa agung di atas tidak tepat untuk kasus Semanggi I, Semanggi II, dan Trisakti. Terkandung alasan mengada-ada. Pertama, Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II bentukan Komnas HAM saat melakukan penyelidikan, warga sipil banyak hadir memenuhi undangan dan memberi keterangan seputar kejadian peristiwa. Dari ABRI hanya hadir satu orang dari kepolisian.

Kedua, banyak ibu korban turut memandikan anaknya. Mereka umumnya merelakan anak mereka diotopsi: dada dibelah dari tenggorokan sampai perut. Dari otopsi itu mestinya diperoleh visum et repertum.

Danpomdam Jaya Hendardji Supandji pernah bilang, keluarga korban boleh meminta fotokopi visum apabila telah digunakan dalam sidang di pengadilan. Ini berarti visum, anak peluru tajam yang bersarang di tubuh para korban, dan alat bukti lain masih tersimpan oleh aparat yang berwajib dan bisa ditelusuri.

Ketiga, pernyataan bahwa bukti-bukti sudah tak ada karena sudah terlalu lama jelas bertentangan dengan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM: penyelesaian pelanggaran HAM berat berlaku surut dan tak mengenal kedaluwarsa.

Mestinya Kejaksaan Agung menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM, mencari alat bukti, dan menggali keterangan para pemegang kekuasaan saat itu. Jenderal Kivlan Zein secara terbuka menyatakan, dia ditugasi Jenderal Wiranto mengerahkan Pamswakarsa membuat demonstrasi tandingan terhadap mahasiswa penolak Sidang Istimewa MPRRI (TV7, Tragedi Semanggi 1998, Saksi Hidup).

Penyelesaian ketiga kasus ini terseok-seok dan dihambat. DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat menolak hasil kajian berkas penyelidikan Komnas HAM yang dilakukan Komisi III.

Sebelum UU No 26/2000 diterbitkan, keluarga korban dan para pendamping menuntut DPR membentuk panitia khusus dengan harapan ada pengawasan dan mendesak pemerintah menyelesaikan ketiga kasus itu. Kenyataannya, DPR menempatkan diri sebagai lembaga peradilan.

Upaya menggagalkan penyelesaian kasus melalui jalur hukum begitu kuat. Berbagai alasan Kejaksaan Agung dan sikap DPR mengindikasikan bahwa dalam ketiga kasus itu terkandung unsur terjadinya pelanggaran HAM berat. Penolakan berkas penyelidikan Komnas HAM itu bisa saja dimaksudkan mengulur waktu, menunggu semua orangtua korban meninggal dan masyarakat melupakannya.

Penyelesaian kasus Semanggi I, Semanggi II, dan Trisakti melalui jalur hukum memerlukan keberanian penguasa membuat terobosan, seperti kata Presiden Jokowi dalam peringatan Hari HAM Sedunia 2015.

SUMARSIH, IBUNDA BERNARDINUS REALINO NORMA IRMAWAN, KORBAN TRAGEDI SEMANGGI I

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Juli 2016, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger