Nama Sri Mulyani sebenarnya sudah muncul saat Presiden Jokowi pertama kali menyusun kabinet (27/10/2014) dan kemudian perombakan kabinet jilid pertama (12/8/2015). Namun, situasi politik saat itu masih terlalu gaduh sehingga belum tepat bagi Sri Mulyani untuk kembali. Sekarang, kondisinya lebih tenang dan kondusif.
Pasar pun merespons positif Menkeu baru. Indeks Harga Saham Gabungan melambung tinggi meski kemudian terkoreksi ke 5.216 pada akhir pekan. Rupiah juga sempat mendekati Rp 13.000 per dollar AS sebelum terkoreksi ke sekitar Rp 13.100 per dollar AS. Respons pasar yang terlalu cepat memang menimbulkan kerawanan koreksi. Yang penting, secara keseluruhan, pasar gembira terhadap perubahan kabinet kali ini.
Dalam pertemuan dengan sejumlah pengamat ekonomi pada 29 Juni lalu, Presiden Jokowi mengatakan, dirinya memerlukan sosok ekonom yang berpengaruh kuat di pasar: seseorang yang bisa membangkitkan kepercayaan pasar ketika perekonomian lesu dan seseorang yang pendapatnya dipercaya investor dan para pelaku ekonomi lain. Sosok itu memang mengarah ke Sri Mulyani.
Kini, Sri Mulyani benar-benar telah kembali. Apa saja tugas besar yang menantinya?
Pertama, tentu soal pengampunan pajak. Menteri Keuangan sebelumnya, Bambang PS Brodjonegoro, sudah berhasil meletakkan dasarnya melalui kelahiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Data Direktorat Jenderal Pajak hingga 30 Juli 2016 menunjukkan, terdapat 340 wajib pajak yang mendeklarasikan harta sebesar Rp 3,67 triliun, baik deklarasi harta di luar negeri maupun harta di dalam negeri. Adapun dana yang sudah direpatriasi mencapai Rp 589 miliar.
Tantangan
Dari sisi eksternal, tantangan bagi Sri Mulyani adalah upaya Singapura menghambat repatriasi, antara lain karena soal cadangan devisa. Cadangan devisa Singapura 248 miliar dollar AS, sedangkan Indonesia 110 miliar dollar AS. Jika repatriasi terjadi masif, cadangan devisa kedua negara akan bisa seimbang, misalnya 170 miliar dollar AS. Dampaknya, kurs dollar Singapura akan melemah, tetapi rupiah akan menguat. Mungkin, rupiah akan menguat ke Rp 12.000 per dollar AS. Namun, jika rupiah menguat terlalu cepat, akan muncul masalah baru, yakni turunnya daya saing produk ekspor kita.
Meskipun ada risiko tersebut, Sri Mulyani harus terus proaktif meyakinkan warga negara Indonesia yang menyimpan asetnya di luar negeri, terutama Singapura dan Kepulauan Virgin Britania Raya, yang diduga menjadi destinasi favorit. Sri Mulyani dengan reputasi internasionalnya diharapkan bisa menjadi sales person yang meyakinkan.
Kedua, Menkeu harus segera mengkaji kembali target-target APBN 2016. Misalnya target tebusan (penerimaan dari pengampunan pajak) yang mencapai Rp 165 triliun. Jika tebusannya sebesar itu, deklarasinya harus berkisar Rp 3.000 triliun-Rp 4.000 triliun. Berbagai analisis menyebutkan bahwa tebusan yang masuk akhir tahun ini kemungkinan Rp 40 triliun-Rp 60 triliun saja.
Dalam sebuah diskusi dengan bank-bank swasta dan asing di Jakarta pekan lalu, Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi menyebut angka Rp 1.000 triliun sebagai angka tebusan yang realistis tercapai hingga akhir 2016.
Penerimaan pajak dalam APBN 2016 ditargetkan Rp 1.360,2 triliun. Kemenkeu mencatat, penerimaan pajak hingga 30 Juni 2016 mencapai Rp 518,4 triliun, atau baru 38 persen dari target.
Pemotongan anggaran
Kesimpulannya, tidak ada extravaganza, tiada pesta bagi kembalinya Sri Mulyani. Pemotongan anggaran kementerian dan lembaga pemerintah merupakan hal yang tak mungkin dihindari. Saya yakin masih ada prioritas belanja yang bisa dipertajam, seperti biaya perjalanan dan pertemuan. Beberapa proyek, termasuk infrastruktur, mungkin terpaksa juga akan mengalami penundaan.
Sementara dari sisi penerimaan, bisa juga defisit APBN sedikit direlaksasi. Ruang itu masih ada. Defisit APBN yang diizinkan undang-undang kita adalah 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) yang saat ini sekitar Rp 12.000 triliun. Berarti ruang defisit tersedia hingga Rp 360 triliun. Jadi, jika tahun ini defisit melebar hingga Rp 300 triliun, masih dapat ditoleransi.
Dari mana batas 3 persen itu diperoleh? Itu berdasarkan pengalaman dan simulasi di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Sebagai ilustrasi, Yunani pernah bangkrut pada saat defisitnya 17 persen terhadap PDB; Brasil kini bermasalah pada defisit 10 persen; dan Amerika Serikat pernah mencapai 8 persen pada saat puncak krisis subprime mortgage (2009). Itu semua adalah deretan angka yang fantastis mengerikan.
A TONY PRASETIANTONO, KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK UGM
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Agustus 2016, di halaman 15 dengan judul "Telah Kembali, tetapi Tiada Pesta untuk Sri Mulyani".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar