Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 15 Agustus 2016

Dirgahayu Republik Indonesia (DAOED JOESOEF)

Tanggal 17 Agustus segera tiba, satu hari sakral bagi kita. Di mana-mana berkibar Sang Saka Merah Putih-merah warna darahku, putih warna tulangku. Pada tahun 2016 ini, 17 Agustus mengindikasikan bahwa bangsa Indonesia, kita-kita ini, telah merdeka selama 71 tahun.

Ada warga yang merayakannya dengan memanjat pohon pinang, ada yang pergi ke pantai atau ke pegunungan atau kebun binatang. Kelompok kecil warga pilihan, elite penguasa, melakukan upacara mengerek bendera pusaka di Istana Negara. Namun, di atas semua ini, ada baiknya kita bertujuhbelasagustusan dengan retret, merenungkan apa yang salah dengan kita, selaku entitas makhluk yang setara di jajaran manusia merdeka di dunia. Kesalahan kita ada, memang tidak sebanyak kersik di pantai daun di rimba, tetapi cukup serius.

Proklamasi  kemerdekaan yang diutarakan oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, berbunyi: "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll, diselenggarakan dengan Tjara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya".

Sebelum 17 Agustus, penduduk Indonesia secara alami hidup berpuak-puak, bersuku dengan sistem nilai (budaya) kedaerahan masing-masing, pada umumnya tidak beranjak dari bumi asli kelahiran. Kita selaku satu bangsa mengakui, karena bangga, dengan multikulturalisme berhubung ia merupakan khazanah "local art, wisdom and genius" yang bernilai kultural adiluhung.

Jadi bagi orang-orang Indonesia, ketergolongan pada "suku" adalah satu realitas, sedangkan ketergolongan pada "bangsa" adalah satu imaji. Artinya, ketika kemerdekaan nasional hendak mengangkat tekad kesukuan yang sempit dan terpisah-pisah ke tekad kebangsaan yang ideally saling terkait dan holistis, ia hendak mengatakan bahwa sejak 17 Agustus 1945 boleh-boleh saja ada "orang Aceh", "orang Papua", dan lain-lain, tetapi tidak boleh ada lagi sebutan "rakyat Aceh", "rakyat Papua", dan lain-lain.

Di negara-bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat hanya ada satu rakyat, yaitu "rakyat Indonesia". Berarti kemerdekaan nasional berasumsi para warga Indonesia mampu berpikir abstrak, suatu hal yang tidak mudah.

Isyarat negara-bangsa

Orang menginginkan adanya manfaat riil yang bisa dinikmati dengan perpindahan dari "negara suku" ke "negara-bangsa", dengan bertekat tetap hidup bersama sampai kiamat. Karena kelalaian kita dalam mengukuhkan dasar pembentukan bangsa, manfaat riil yang diharapkan itu semakin jauh panggang dari api.

Tidak ada satu bangsa pun akan hidup lama, apalagi sampai kiamat, tanpa punya ide yang jelas tentang peranannya dalam sejarah. Kesejatian suatu peradaban adalah mencetuskan ide tersebut.

Peranan para elite, dalam satu periode  tertentu, menurut Jacques Attali, adalah memasok pilihan-pilihan besar dari suatu peradaban ke kehidupan sehari-hari dan memandu bangsa pada mana dia tergolong ke arah yang memaksimalkan peluang-peluangnya untuk bertahan (survive).

Rakyat membentuk bangsa dan bangsa yang terorganisasi adalah negara. Apabila rakyat mulai meragukan keabadian dari peradabannya, apabila dia merasa bahwa elitenya tidak mampu lagi membantunya mengembangkan asas dan tujuan mendasar dari perjuangan kemerdekaannya, dia akan pasrah pada eskapisme, bersikap tak acuh, pesimistis, menjauhkan diri, defaitis atau memberontak. Maka ada kaitan nyaris otomatis antara kapasitas anak bangsa, rakyat, menggambarkan suatu citra dari masa depannya dan ritme pertumbuhan.

Apabila proyek jangka panjang yang memolakan kegiatan ekonomi bangsa jelas, apabila pengorbanan yang dituntut dari rakyat digunakan untuk meraih tujuan-tujuan yang diakuinya absah, rakyat akan menabung, belajar, bekerja, membarui, bergembira, tersenyum. Tanpa dibujuk dan dirayu pihak asing akan datang menawarkan modal, jasa,technical know-how dan keterampilan khususnya. Dengan kata lain, logika pembangunan bangsa bergerak tanpa dicambuk, tidak bagai karapan sapi.

Apabila, sebaliknya, rakyat dan bangsa ini hanya memiliki suatu ide yang serba kabur tentang nasibnya di kemudian hari, apabila dia kebingungan antara tujuan dan cara/jalan (mana) yang akan ditempuh, dia akan tidak peduli, bersikap pasrah, menerima saja apa adanya, ono dino ono upo, tidak mewariskan apa pun kepada keturunannya, membiarkan begitu saja kekayaan potensial buminya. Hal ini sudah membayangi pelangi dalam kehidupan kebanyakan rakyat sehari-hari. Dia tidak hanya ngeli tetapi keli, tidak hanya hanyut tetapi tenggelam di bawah permukaan peradaban yang berlaku.

Pembentukan kabinet, pengorganisasian negara dengan segala protokol yang terkait itu, bisa menjadi means untuk mengorganisasikan proses integrasif warga negara ke dalam suatu kehidupan bersama yang beralih dari suatu masyarakat piramidal-di mana semua dijustifikasi oleh sekelompok politik dominan-ke suatu kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan jaringan multielite, yang beradaptasi pada keinginan rakyat yang diwongke, ingin to be more, tidak sekadar to have more.

Tanggal 17 Agustus bisa menjadi peluang pencerahan. Rakyat menuntut penguasa agar lebih dahulu menjustifikasi untuk apa digunakan usaha-usaha rakyat dan ambisi apa yang dapat membenarkan pengorbanan mereka. Rakyat perlu kejelasan agar tidak kacau memahami proyek dengan keterpaksaan.

Retret kecerahan

Maka kita perlu retret selaku ekspresi dari suatu keraguan, bukan keraguan yang melumpuhkan melainkan keraguan yang menggairahkan, mempertanyakan apa-apa yang selama ini kita lakukan. Aksi yang telah menguras semua kekuatan kita, yang telah memeras seluruh energi anak bangsa, apakah punya makna (sense)? Apakah kita telah melayani tuntutan progres dan eksistensi manusia Indonesia atau kita berpuas diri dalam bertindak untuk sekadar bertindak, meluncur sesuai dengan kehendak gerakan asal berkeringat, berlari maraton tanpa akhir yang bermuara pada jurang kegagalan?!

Sebetulnya lokasi retret yang paling relevan bukan di goa atau di padepokan, melainkan di rumah Jalan Pegangsaan Timur 56, walaupun sudah cacat. Betapa tidak. Proklamasi kemerdekaan dibacakan di emperan depan rumah ini, yang sebelumnya masih didiskusikan bunyinya di dalam rumah yang sama. Rumah ini sudah tidak ada lagi, dihancurkan berdasar ego pribadi semata oleh orang yang malah sering mengatakan "jangan sampai melupakan sejarah" (jas merah), padahal dialah, orang inilah yang justru membacakan teks proklamasi kemerdekaan.

Rumah tersebut adalah saksi utama, walaupun bisu, tetapi otentik dan orisinal, dari proklamasi kemerdekaan nasional. Sebagai gantinya lokasi ini dibangun sebuah tugu dengan simbol halilintar di puncaknya dan patung-patung serta perubahan nama jalan lokasi dari "Pegangsaan Timur" menjadi "Jalan Proklamasi". Semua ini bisa saja diperlakukan sebagai saksi bisu, tetapi jelas serba artifisial.

Penghancuran saksi bisu otentik dan orisinal tadi merupakan suatu "kesalahan sejarah nasional" yang tidak bisa dibetulkan bisa saja dilupakan, tetapi tidak termaafkan, never! Walaupun begitu, tak apalah. Yang cacat, kan, lokasi retret dan kebesaran jiwa serta perbuatan dari pemimpin yang mendalangi penghancuran tersebut, bukan generasi penerus kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk, semoga, elite penguasa sekarang. Jangan lupa bahwa elite penguasa dibenarkan ada demi mencetuskan pembetulan dan pembaruan.

Begitulah kiranya bisikan Ibu Pertiwi, panggilan nasional, pada saat kita merayakan 17 Agustus 2016. Dirgahayu Republik Indonesia!

 DAOED JOESOEF

Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul " Dirgahayu Republik Indonesia".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger