Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 15 Agustus 2016

Sekolah Bukan Pabrik atau Kantor (SATRYO SOEMANTRI BRODJONEGORO)

Hari-hari ini ramai dikupas dan diperdebatkan mengenai wacana kebijakan yang akan diterapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, yakni sekolah sehari penuh (full day school). Setiap pihak mempunyai argumentasi yang paling sahih berdasarkan pengalaman dan pemahaman masing-masing. Semuanya mempunyai niat baik agar pendidikan bagi anak-anak Indonesia mampu menghasilkan generasi penerus yang mampu membangun Indonesia yang maju sejahtera madani.

Niat baik tersebut seyogianya diselaraskan dengan hakikat pendidikan dan mohon dipahami bahwa sekolah bukanlah sebuah pabrik ataupun sebuah kantor.

Pendidikan adalah proses pembentukan dan pengembangan kapasitas intelektual dan kejiwaan individu sesuai dengan potensi setiap individu. Kalau sekolah dianggap dan dikelola sebagai sebuah pabrik, maka murid-murid dianggap sebagai benda mati yang akan diolah dengan berbagai peralatan dan proses agar menjadi produk tertentu.

Seandainya sekolah dianggap dan dikelola sebagai sebuah kantor, maka murid-murid dianggap sebagai pegawai atau karyawan yang akan menjalankan rutinitas dan harus patuh kepada atasannya.

Memang murid-murid tersebut dianggap sebagai benda hidup, tetapi tidak boleh berpikir kritis, bernalar, berargumentasi, berbeda pendapat, berbuat salah, dan lainnya. Itu mungkin penyebab kenapa negara kita belum kompetitif karena masyarakatnya secara umum belum terbentuk daya saingnya dan keberaniannya dalam mengambil risiko serta membuat keputusan yang tidak populer.

Pendidikan karakter

Anak-anak kita mempunyai potensi yang luar biasa, tetapi potensi tersebut tidak termanfaatkan secara optimal karena salah kelola.

Sekolah yang dikelola sebagai pabrik, maka murid-muridnya pasti tidak berkarakter sama sekali karena dianggap benda mati, sedangkan sekolah yang dikelola sebagai kantor, maka murid-muridnya mempunyai karakter yang sangat pasif.

Padahal pemerintah sudah mencanangkan Nawacita yang mengedepankan pendidikan karakter di sekolah. Pemerintah menentukan bahwa pendidikan karakter di sekolah dasar mencapai porsi 70 persen dalam kurikulum, sedangkan untuk sekolah menengah pertama mencapai porsi 60 persen.

Tujuan Nawacita sangat baik dan ideal. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana menerjemahkan Nawacita ke dalam proses pendidikan. Kalau sekolah dikelola sebagai pabrik atau kantor, maka pendidikan karakter akan diwujudkan dalam bentuk kumpulan peraturan dan prosedur operasional baku yang kemudian harus dijalankan oleh guru dan murid.

Dalam hal ini, guru tidak optimal fungsinya karena dianggap sebagai operator pabrik atau sebagai pejabat kantor di mana guru tidak boleh berpikir kritis, berinisiatif, berbeda pendapat, berargumentasi, dan lainnya. Pendidikan karakter yang demikian jelas tidak akan memenuhi Nawacita, bahkan berlawanan dengan Nawacita.

Banyak sekali teori tentang pendidikan yang telah dikembangkan dan diterapkan oleh sejumlah ahli di sejumlah negara.

Penulis tidak akan masuk ke ranah perdebatan tentang teori pendidikan mana yang paling cocok untuk Indonesia. Pada dasarnya, pendidikan harus mampu menumbuhkan kapasitas intelektual dan kejiwaan individu sesuai potensinya.

Pendidikan dapat diibaratkan sebagai proses pertumbuhan tanaman yang membutuhkan lahan yang subur, bibit yang baik, perawatan yang teratur dan berkelanjutan. Sekolah harus mampu memberikan suasana kondusif agar murid dapat bertumbuh kembang dengan baik dan guru berperan sebagai fasilitator yang menumbuhkembangkan murid-muridnya.

Kambing hitam

Kembali kepada persoalan awal, yaitu apakah perlu full day school. Untuk menjawab pertanyaan seperti itu perlu diteliti kembali keluhan apa yang selama ini ada sehingga muncul gagasan full day school.

Selama ini pendidikan di Indonesia masih belum baik karena mutu lulusannya rendah dan banyaknya tawuran serta maraknya generasi muda yang terkena narkoba ataupun terlibat kegiatan yang tidak terpuji. Pemerintah dan masyarakat serta-merta menyalahkan sekolah karena tidak mampu mendidik muridnya dengan baik.

Guru dan kepala sekolah tidak berkenan karena dipersalahkan, maka seperti biasanya dicari kambing hitam. Kali ini yang menjadi kambing hitam adalah kurikulum pendidikan yang belum baik karena kurangnya pendidikan karakter.

Kebiasaan ini yang seharusnya kita hapuskan, yaitu menyalahkan benda mati yang tidak bisa berbuat apa-apa. Karena kurikulum yang dipersalahkan, maka murid, guru, kepala sekolah, orangtua, dan pemerintah bebas dari kesalahan. Biasanya kurikulum segera diganti atau direvisi seperti halnya Kurikulum 2013, di mana dalam kurikulum tersebut dipaksakan adanya unsur pendidikan karakter sedemikian rupa sehingga mengaburkan makna substansi ilmiahnya.

Dengan kurikulum yang seperti itu dan dengan pola pengelolaan sekolah sebagai sebuah pabrik atau kantor, pendidikan di Indonesia tidak menjadi lebih baik bahkan terjadi kemunduran.

Pembentukan karakter di sekolah dapat dilakukan tanpa harus mengubah peraturan, menambah jam pelajaran, menambah kegiatan, menambah anggaran, menambah guru, dan lain-lainnya.

Kembalikan fungsi sekolah sebagai tempat guru dan murid berinteraksi dalam rangka menumbuhkembangkan kapasitas intelektual dan kejiwaannya. Guru diberi otonomi yang luas dalam mendidik, sebaliknya murid diberi keleluasaan untuk berpikir kritis, bernalar, berbeda pendapat, berargumentasi, bahkan dalam membuat keputusan yang bertanggung jawab.

Guru juga harus diberi kebebasan untuk mengemukakan prinsipnya dan mempertahankan prinsipnya agar guru mempunyai wibawa di mata murid-muridnya. Seandainya prinsip-prinsip tersebut diterapkan secara baik oleh guru dan murid, maka pembentukan karakter otomatis terwujud.

Pemerintah memfasilitasi agar guru dan murid dapat memperoleh suasana kondusif di sekolah, sedangkan orangtua diharapkan untuk tidak membebani anak-anaknya dengan ambisi atau target capaian yang terlalu tinggi.

Biarlah proses pendidikan berjalan sesuai hakikatnya, dan anak-anak kita mempunyai potensinya masing-masing dan mereka pasti akan berbuat yang terbaik dengan adanya bimbingan guru dan orangtuanya.

SATRYO SOEMANTRI BRODJONEGORO

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (1999-2007); Guru Besar Emeritus Institut Teknologi Bandung; Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Agustus 2016, di halaman 6 dengan judul "Sekolah Bukan Pabrik atau Kantor".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger