Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 01 Agustus 2016

Disorientasi Koperasi Indonesia (REVRISOND BASWIR)

Masyarakat koperasi mungkin merupakan satu-satunya kelompok masyarakat yang tidak banyak mengalami perubahan pasca pemerintahan Soeharto pada 1998.

Ketika kelompok masyarakat yang lain, seperti pekerja, pengusaha, jurnalis, dan politisi telah bertransformasi—apa pun bentuknya, baik atau buruk—dalam 17 tahun terakhir, masyarakat koperasi cenderung jalan di tempat.

Bahkan, kondisinya semakin memprihatinkan karena di tengah-tengah hebohnya propaganda kewirausahaan, citra koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat justru makin redup.

Secara statistik, sebagaimana dikemukakan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah koperasi dan anggotanya memang terus bertambah. Sebagai misal, jumlah koperasi aktif pada periode 1998-2015, yang meningkat sekitar tiga kali lipat dari 45.899 unit menjadi 150.223 unit.

Sedangkan jumlah anggota koperasi aktif, untuk periode yang sama, meningkat dari sekitar 20 juta orang menjadi 36 juta orang. Hal yang lebih mencolok terjadi pada volume usaha koperasi. Dalam periode 1998-2015, volume usaha koperasi meningkat signifikan dari Rp 12,9 triliun menjadi Rp 189 triliun.

Belum pertanda positif

Namun, jika ditelusuri lebih jauh, ternyata tidak seluruh angka perkembangan koperasi dapat begitu saja diterima sebagai pertanda positif perkembangan koperasi di Indonesia. Jumlah koperasi yang tidak aktif dalam 17 tahun terakhir ternyata juga meningkat secara signifikan.

Jumlah koperasi yang tidak aktif dalam periode 1998-2015 meningkat dari 13.193 unit (22 persen), menjadi 62.239 unit (29 persen).

Sementara itu, dari jumlah semua koperasi yang aktif pada 2015, hanya sekitar 58.000 unit (38 persen) yang menyelenggarakan rapat anggota dan melaporkannya ke instansi terkait.

Jika dilihat berdasarkan bidang usahanya, dari jumlah seluruh koperasi yang ada (aktif dan tidak aktif), yang berjumlah sekitar 212.000 unit, 110.000 unit (52 persen) di antaranya ternyata bergerak di bidang usaha simpan pinjam.

Dengan demikian, jika ditelusuri berdasarkan jumlah koperasi yang tidak aktif, koperasi simpan pinjam (KSP) hampir dapat dipastikan menempati urutan teratas. Sebagaimana terjadi di Kota Depok, Jawa Barat, pada akhir 2015, dari sekitar 385 KSP yang ada, 102 unit di antaranya ternyata sudah lama tidak aktif.

Apa yang terjadi dengan koperasi? Walaupun samar-samar, angka-angka di atas sebenarnya mengungkapkan beberapa persoalan mendasar yang membelenggu koperasi Indonesia.

Persoalan koperasi

Pertama, perkembangan jumlah koperasi yang jauh lebih cepat daripada jumlah anggotanya, secara tidak langsung mengungkapkan terjadinya disorientasi dalam pengembangan koperasi di Indonesia. Sebagai perkumpulan orang, keberlanjutan koperasi sangat bergantung pada jumlah anggotanya.

Pembentukan sebagian besar koperasi di Indonesia besar kemungkinan lebih digerakkan oleh motif untuk mendirikan perkumpulan pengurus, bukan untuk membangun gerakan ekonomi rakyat. Bersamaan dengan itu, hal itu tentu juga mengungkapkan kurangnya minat anggota masyarakat untuk bergabung menjadi anggota koperasi.

Kedua, perkembangan volume usaha koperasi yang sangat besar hampir dapat dipastikan bersandar pada posisi dominan KSP dalam struktur perkoperasian di Indonesia.

Hal ini perlu diwaspadai, sebab sesuai dengan sifat konsumtif pinjaman yang diberikan KSP, perkembangan volume usaha KSP tidak selamanya dapat dimaknai sebagai pertanda positif bagi perkembangan koperasi. Justru kita harus menanggapi kondisi ini dengan sangat hati-hati.

Sebagaimana diketahui, perkembangan volume usaha KSP selama ini cenderung tidak sebanding dengan perkembangan volume tabungannya. Apabila ditelusuri lebih jauh, usaha yang dijalankan KSP memang lebih menyerupai lembaga pembiayaan daripada usaha simpan pinjam. Artinya, alih-alih menjadi gerakan ekonomi rakyat, KSP diam-diam beralih fungsi menjadi agen korporasi.

Persaingan ketat

Ketiga, cukup besarnya jumlah KSP yang menghentikan usahanya secara tidak langsung mengungkapkan cukup ketatnya persaingan usaha dalam sektor pembiayaan di Indonesia. Selain harus bersaing dengan sesama lembaga yang secara khusus dibentuk untuk melakukan usaha pembiayaan, KSP juga harus bersaing dengan lembaga-lembaga pembiayaan yang didirikan oleh konglomerasi pabrikan dan konglomerasi keuangan.

Dengan demikian, jika dilihat berdasarkan kemampuan pendanaan, jaringan, dan kecakapan dalam menjalankan lembaga pembiayaan, kapasitas sebagian besar KSP besar kemungkinan sangat jauh tertinggal.

Sebab itu, patut diwaspadai, jangan-jangan pengembangan KSP memang sengaja didorong oleh konglomerasi pabrikan sebagai sarana untuk menjangkau pasar yang berisiko tinggi.

Menyimak ketiga catatan tersebut, dapat disaksikan bahwa perkembangan koperasi di Indonesia memang sudah sangat jauh menyimpang dari amanat Pasal 33 UUD 1945. Alih-alih menjadi gerakan ekonomi rakyat, koperasi cenderung disalahgunakan oleh para pengurusnya untuk mengeruk keuntungan dan memperkaya diri sendiri.

Dengan motif seperti itu, penyelenggaraan koperasi hampir dapat dipastikan bertolak belakang dengan jati diri dan prinsip koperasi yang berlaku secara internasional.

Jangan-jangan, yang tersisa pada koperasi tinggal sebutan. Rohnya sudah lama melayang, entah ke mana.

REVRISOND BASWIR , PENGAJAR EKONOMI KOPERASI PADA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS GADJAH MADA, YOGYAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Disorientasi Koperasi Indonesia".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger