Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 01 Agustus 2016

Tata Kelola Rumah Sakit (HOTBONAR SINAGA)

Masih banyak persoalan terkait rumah sakit yang belum dipahami oleh masyarakat. 

Masyarakat mungkin tidak begitu banyak yang menyadari bahwa rumah sakit sebagai salah satu pemberi pelayanan kesehatan berada dalam posisi untuk melakukan "kecurangan".

Kerap terjadi beberapa praktik ketidakjujuran yang dilakukan rumah sakit terhadap pasiennya, yang secara relatif berada dalam posisi yang lemah, antara lain karena keawaman pengetahuan mereka dalam masalah medis. Beberapa rumah sakit yang memang buruk pengelolaannya secara sengaja memanfaatkan ketidaktahuan pasien yang pada dasarnya menerima saja apa yang di-charge pihak rumah sakit.

Mengantisipasi kecurangan

Penulis yakin cukup banyak di antara pembaca yang pernah mengalami kasus yang sama. Kecurangan dalam layanan kesehatan ini di Amerika Serikat menimbulkan kerugian bagi masyarakat hingga miliaran dollar per tahun dan jadi salah satu obyek investigasi FBI.

Salah satu cara untuk memitigasi risiko kecurangan yang diderita pasien/keluarganya antara lain membeli polis asuransi kesehatan atau, yang memang wajib, menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pihak BPJS dan atau perusahaan asuransi akan bertindak sebagai pihak ketiga, yang berkepentingan terhadap pembebanan biaya yang berlebihan. Penyelenggara asuransi kesehatan akan melakukan pengecekan ulang atas tagihan yang diajukan pihak rumah sakit dan mereka memang memiliki dokter atau ahli untuk melakukan verifikasi sehingga over billingdapat dihindari.

UU No 36/2009 tentang Kesehatan yang terbit pada 13 Oktober 2009 menyatakan, pemerintah bertanggung jawab dalam merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, serta membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Tugas ini dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan yangbertindak selain sebagai pengawas, juga sebagairegulator yang menerbitkan regulasiteknis yang merupakan petunjukpelaksanaan (juklak) UU tersebut.

Terkait kecurangan yang dilakukan pihak pemberi pelayanan kesehatan (PPK), termasuk misalnya rumah sakit, Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Permenkes No 36/2015 tentang Pencegahan Kecurangan dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan pada Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Selain PPK, ada dua pihak lain yang berada dalam posisi untuk melakukan kecurangan, yakni pihak BPJS Kesehatan dan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Permenkes tersebut di atas adalah untuk mengantisipasikemungkinan kecurangan yang dapat dilakukan oleh ketiga pihak yang berpotensi menimbulkan kerugian.

Kasus vaksin palsu

Kasus menghebohkan yang terjadi pertengahan tahun ini cukup mengejutkan dunia kesehatan. Sebab, begitu banyakanak yang menjadi korban dan sekaligus menimbulkan kekhawatiran orangtua mengenai masa depan anak-anak mereka.

Ketua Komisi IX DPR secara lisan dalam suatu acara di media TV menyatakan bahwa semua pihak, termasuk DPR danpemerintah, bertanggung jawab atas kasus ini. Namun, pihak manakah sebetulnya yang paling bertanggung jawab dalam masalah ini?

Memang sebaiknya kita tidak perlu mempersalahkan siapa yang paling bertanggung jawab. Yang penting dan segera harus dilakukan adalah membuat tenang para orangtua korban, tindak lanjut apa yang wajib dilakukan terhadap korban yang mayoritas adalah anak-anak, menghukum pihak yang bersalah dan bagaimana caranya agar kasus serupa tidak akan terulang. Dalam ilmu manajemen risiko, pemerintah harus berupaya melakukan upaya mitigasi risiko guna meminimalisasi kerugian yang ditimbulkan. Bukan hanya soal kerugian finansial, melainkan juga dampak nonfinansial seperti masa depan kesehatan pasien dan sebagainya.

Selain pengawasan yang merupakan tugas Kementerian Kesehatan bersama aparat di bawahnya, diperlukan upaya penegakan hukum berikut pengenaan sanksi yang tegas bagi mereka yang terbukti melakukan pelanggaran. Tindak lanjut untuk mengantisipasi masalah yang sama di masa mendatang, seperti kecurangan dalam layanan kesehatan, kasus vaksin/obat palsu,perlu kita rumuskan bersama. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah menetapkan aturan ataupun standar penerapan tata kelola rumah sakit ataupun tata kelola klinis yang baik.

Dalam UU No 44/2009 tentang Rumah Sakit, pada penjelasan Pasal 36 disebutkan, "Tata kelola rumah sakit yang baik adalah penerapan fungsi-fungsi manajemen rumah sakit berdasarkan prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan kewajaran", yang identik dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Dinyatakan pula bahwa "Tata kelola klinis yang baik adalah penerapan fungsi manajemen klinis yang meliputi kepemimpinan klinik, audit klinis, data klinis, risiko klinis berbasis bukti, peningkatan kinerja, pengelolaan keluhan, mekanisme monitor hasil pelayanan, pengembangan profesionalis dan akreditasi rumah sakit".

Jadi, definisi tata kelolarumah sakit ataupun klinis sudah dirumuskan dalam UU sehingga dapat dijadikan semacam "pintu masuk" untuk menerbitkan pedoman ataupun standar tata kelola yang baik. Selama ini tiap rumah sakit sudah memiliki standar prosedur operasional yang jadi rujukan utama dalam melakukan berbagai tindakan seperti medis, pengadaan obat, dan pengadaan alat kesehatan. Rumah sakit yang baik bahkan sudah memiliki sertifikasi ISO.

Pedoman tata kelola

Tugas perumusan pedoman yang dapat dijadikan standar tata kelola dapat diserahkan penyusunannya kepada Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). Selama ini kiprah komite yang sudah dilahirkan sejak tahun 1999 telah berhasil menyusun pedoman Good Corporate Governance yang mayoritas di sektor jasa keuangan, termasuk syariah dan good public governance.

Sebagai salah satu anggota KNKG, penulistelah mengusulkan kepada pimpinanKNKG untuk memprakarsai penyusunan pedoman tata kelola bagi rumah sakit, yang kemudian dapat diberlakukan sebagai suatu standar. KNKG diharapkan segera membentuk satuan tugas yang akan membentuk tim bekerja sama dengan pihak terkait, seperti Kementerian Kesehatan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Asosiasi Rumah Sakit, PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), GP Farmasi, BPJS Kesehatan, dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Langkah berikutnya adalah menyelenggarakan suatu diskusi grup terfokus dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Mudah-mudahan penyusunannya akan rampung awal tahun 2017 dan siap disosialisasikan serta menjadi salah satu persyaratan dalammemberikan akreditasi atas rumah sakit, baik nasional maupun internasional.

HOTBONAR SINAGA, KOMITE NASIONAL KEBIJAKAN GOVERNANCE (KNKG)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Tata Kelola Rumah Sakit".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger