Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 24 Agustus 2016

Kekuasaan yang Bermahkota (AHMAD SAHIDE)

Pada 7 September 2015, Yasraf Amir Piliang menulis artikel yang terbit di harian ini dengan judul "Kekuasaan Tanpa Kuasa". Dari judulnya saja kita semua sudah tahu bahwa yang disorot oleh Yasraf adalah kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi).

Lebih dari itu, Jokowi, pada saat kampanye, santer diisukan bahwa dirinya hanya akan menjadi boneka dari penguasa partai politik tertentu. Bahasa halusnya adalah menjadi "petugas partai".

Di samping itu, juga muncul kekhawatiran bahwa Jokowi hanya akan menjadi "tumbal" permainan politisi-politisi berpengalaman. Betul bahwa Jokowi adalah orang nomor satu di republik ini, tetapi yang punya kuasa sebenarnya adalah penguasa partai politik yang mengusungnya, serta para politisi senior yang sudah hampir dua dekade "bermain-main" di lingkaran Istana. Bahasa yang digunakan oleh Yasraf adalah kekuasaan tak tampak.

Senada dengan Yasraf, Y Ari Nurcahyo, Direktur Eksekutif Para Syndicate, menulis di harian yang sama pada 11 Desember 2015 dengan judul "Presiden Tanpa Mahkota". Maka, Jokowi adalah presiden tanpa kuasa dan tanpa mahkota. Ari kemudian, dalam tulisannya, meminta Presiden Jokowi mengonsolidasikan kekuasaannya (resume power). Padahal, saat tulisan Ari terbit, barulah terhitung beberapa bulan Jokowi melakukan perombakan kabinetnya (reshuffle). Bahkan tulisan Yasraf adalah respons dari hasil perombakan kabinet yang tetap saja menjadikan Jokowi penguasa yang tanpa kekuasaan, tanpa mahkota.

Perebutan mahkota

Pada 27 Juli lalu, Presiden Jokowi kembali melakukan perombakan kabinet untuk yang kedua kalinya. Beberapa nama terlempar dari jajaran kabinet dan sebagian lainnya digeser. Partai Golkar dan PAN akhirnya mendapat "hadiah" atas dukungan mereka kepada pemerintahan Jokowi-Kalla dengan masing- masing satu kursi dalam jajaran Kabinet Kerja. Perombakan kabinet boleh jadi wujud dari resume power(mengonsolidasikan kekuasaan) yang dilakukan Jokowi, dengan hak prerogatifnya.

Lalu apa yang terjadi setelah Jokowi melakukan resume power lewat perombakan kabinetnya? Masihkah Jokowi jadi penguasa yang tanpa kekuasaan dan tanpa memegang kendali mahkotanya?

Jika kita mengamati bagaimana dinamika politik dalam perombakan kabinet jilid kedua, serta mencermati siapa-siapa yang terbuang, digeser, dan bertahan, kita sebenarnya sudah menyaksikan bahwa Jokowi sudah mulai merebut "takhta" kekuasaannya dan mahkota itu tidak lagi di tangan orang lain.

Dalam perombakan kabinet 27 Juli lalu, terlihat bahwa yang mengatur "ritme permainan" adalah Jokowi. Megawati dan PDI-P, partai pengusung dan menempatkan Jokowi sebagai "petugas partai", tidak lagi muncul sebagai aktor dominan yang mengatur ritme permainan di Istana.

Lihat saja, beberapa bulan sebelum perombakan kabinet terjadi, elite-elite PDI-P melempar wacana bahwa PDI-P seharusnya mendapatkan jatah kabinet lebih dari yang diberikan (4 kursi). Di samping itu, publik juga tahu ada beberapa anggota kabinet yang tidak "disenangi" oleh Ketua Umum PDI-P Megawati, tetapi Jokowi mempertahankannya.

Di samping itu, manuver politik Golkar yang mendeklarasikan dukungannya kepada Jokowi pada Pemilu 2019 juga memberikan keuntungan politik bagi Jokowi untuk tidak dijadikan "petugas partai" oleh Megawati, tapi presiden dari PDI-P untuk Indonesia. Jika sebelumnya Megawati terlihat ikut "merawat" mahkota itu, maka dari reshuffle akhir Juli lalu terlihat bahwa Jokowi tidak lagi menghendaki adanya orang yang ikut campur dalam urusan "merawat" mahkota kekuasaannya.

Wapres Jusuf Kalla, politisi senior yang cukup berpengalaman, juga tidak begitu menonjol dalam perombakan kabinet lalu. Bahkan salah satu anggota kabinet yang ditengarai kesayangan Kalla ikut terlempar. Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) yang disebut-sebut sebagai salah satu orang berpengaruh dalam pemerintahan Jokowi-selama hampir dua tahun terakhir-juga ikut digeser dari posisinya yang cukup strategis. LBP memang tetap sebagai Menko, tetapi ia digeser dari Menkopolhukam dan digantikan oleh Wiranto.

Golkar, partai besar dan berpengalaman, tetap saja hanya mendapatkan jatah satu kursi dalam kabinet Jokowi-Kalla, meskipun Golkar bermanuver dengan mendeklarasikan dukungannya kepada Jokowi pada 2019 nanti pada hari yang sama diumumkannya hasil perombakan kabinet. Deklarasi itu tidak memengaruhi jatah kursi yang diberikan Jokowi untuk Golkar.

Tentu saja, Jokowi membaca bahwa Golkar tidak punya tokoh potensial untuk menghadapi Pemilu 2019. Jika Setya Novanto dipaksakan maju dalam daur ulang demokrasi 2019 nanti, nasibnya akan mengulangi nasib Aburizal Bakrie. Jokowi sepertinya berpikiran bahwa memberikan satu kursi kabinet itu sudah cukup. Toh, paling yang diincar Golkar pada Pemilu 2019 adalah RI-2 (mendampingi Jokowi).

Memenangi "permainan"

 Singkatnya, hasil reshuffle pada 27 Juli lalu menjadi ajang bagi Jokowi untukshow of power (unjuk kekuatan). Jokowi melakukan share of power dan tidak memberikan dominant power kepada pihak-pihak tertentu. Dengan cara itu, Jokowi dapat mendikte irama panggung politik Indonesia.

Kekuasaannya sudah mempunyai kuasa dan mahkota itu berhasil ia rebut. Maka, ia tidak lagi menjadi penguasa yang tanpa kuasa, menjadi presiden tanpa mahkota. Kini Jokowi adalah the real president yang punya kuasa dan bermahkota. Di tengah share of poweryang dilakukannya, Jokowi mendapatkandominant power yang mana penguasa yang dominanlah yang menentukan dan memenangi permainan.

Semoga dengan ini menjadi kabar baik bagi rakyat Indonesia karena rakyat butuh pemimpin yang mampu merealisasikan visi dan misinya untuk kesejahteraan rakyat itu sendiri. Dan, itu hanya berhasil dengan pemimpin yang punya kuasa dan bermahkota.

 AHMAD SAHIDE

DOSEN MAGISTER ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA; PENGGIAT KOMUNITAS BELAJAR MENULIS (KBM) YOGYAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Kekuasaan yang Bermahkota".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger